Cari Berita/Artikel :

Pekerja Seks Dimata Gus Dur : Gejolak Spiritual Modernisme

Pekerja Seks Dimata Gus Dur : Gejolak Spiritual Modernisme
Gus Dur
oleh: Zezen el-Equilibrium
Gus Dur bapak pluralis Indonesia. Sebuah penyematan untuk  tokoh fenomenal yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Ia ialah KH. Abdul Rahman Wahid atau dikenal dengan sapaan akrab Gus Dur. Entah sepakat atau tidaknya dari penyebutan gelar yang telah melekat padanya, gelar tersebut telah melekat padanya atas karya serta perilaku semasa hidupnya yang tak perlu diperdebatkan atas kebenarannya. Gelar tersebut disandangnya bukan berarti tak beralasan, karena dari penuturan Djohan Efendi salah seorang sahabat dekatnya pernah menyatakan bahwa “selama Gus Dur hidup, beliau selalu menganggap manusia atau selalu memandang manusia siapapun dan dimanapun”, dan ke-ada-annya merupakan keniscayaan pasti adanya berasal dari sang maha pencipta. Selalu ingin menganggap ada, menghormati dan menyayangi manusia sebagaimana yang diperintahkan oleh tuhan serta ajaran keyakinannya. Maka tak heran, sering kali kita dengar pernyataan darinya atas pembelaan terhadap siapapun yang disudutkan atau kita mengenalnya sebagai sosok pembela kaum minoritas.
Salah satu isu yang pernah meramaikan media yaitu diberantasnya keberadaan lokalisasi Dolly di Surabaya. Isu tersebut mencuat dan terus larut berkepanjangan di media elektronik serta media cetak. Kehadirannya menumpuk retting tak habis dari pencarian orang, tak ketinggalan pembicaraan disetiap perkumpulan baik pembicaraan dalam diskusi-diskusi umum sampai di warung-warung kopi serta dijejaring media sosial (Medsos) seperti facebook, twitter, Black Berry Messenger (BBM) dan lainnya pun turut serta terbawa suasana meramaikan isu utama yang dibicarakan mengenai keberadaan lokalisasi diberbagai penjuru daerah masing-masing tanpa terkecuali bermuara pada Dolly. Namun yang disayangkan isu tersebut pun beriringnya waktu semakin hari semakin meredup tergantikan oleh isu-isu lain tanpa menemukan muara penyelesaian nyata dari setiap pembicaraan yang telah dihasilkan. Adapun penyelesaian yang sempet ada diurus dengan langkah yang tidak semestinya dilakukan karena tak melihat sisi keplural-an manusia yang nyata berbeda. 
Sekejap mata Dolly muncul dilayar kaca memperkenalkan dunia lain dari kehidupan manusia yang berbeda kekhalayak umum. Informasinya dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat tanpa kenal pembatasan tersaji dalam wadah ruang publik yang dapat diakses melalui berbagai cara dan oleh setiap kalangan. Sebuah fenomena yang menuai keuntungan berlipat bagi sebagian kalangan, menjadi proyek empuk bagi kaum elite dengan terus menyuarakan nama dan simbol dari nilai normatif mayoritas-norma agama, padahal di dalamnya terdapat harapan sebagai ladang pendapatan bagi pekerja serta para pelaku di lingkungannya. Karena didalamnya berputarlah uang setiap saat dengan angka yang cukup bombastis. Lalu peran apa yang dilakukan oleh negara terhadap para pekerja, tentunya bukan berarti langsung dengan meng’hancur’kannya begitu saja. Penanganan khusus mesti ditempuh untuk mengakui keberadaan pelaku pekerja seks komersial tersebut melaui pemberdayaan, pengawasan yang intens agar tercipta suasana yang kondusif pun menjadi salah satu pilihan agar tidak merajalela keberbagai penjuru daerah.
Apalah artinya manakala menyelesaikan satu hal namun mencederai perihal lainnya. Tentu itupun masih menyisakan persoalan atau bahkan malah menambah persoalan baru. Salah satu dampak dari penyeretan lokalisasi diberbagai daerah akhirnya bermuncullan tempat-tempat liar yang dijadikan sebagai ladang untuk mendapatkan nafkah bahkan fenomena pekerja komersial pun terus bermuncullan hingga dalam proses penyebarannya telah menggunakan kecanggihan teknologi yakni penyediaan jasa servis dipasar online yang sempat menyeret sedertan nama-nama dewi penghibur-hiburan tanah air namun kabar utama tersebut menjalar keberbagai sudut pandang persoalan bahkan sampai meluas kearah sisi pelecehan seksual serta kemanusiaan. Banyak diantara penikmat informasi pun yang mengkerdilkan, menghujat dan mencaci keberadaan para pelaku jasa servis tersebut, padahal jikalau ditilik kembali tidak mungkin akan marak beredar manakala tidak ada penikmatnya. Hal demikian tentu perlu mendapat perhatian namun manakala merespon dengan respon yang berlebihan apalagi sampai meluas kearah kemanusiaan menjadi persoalan yang juga perlu diperhatikan.
Kasus kemanusiaan selalu menjadi topik utama yang disampaikan oleh Gus Dur sejatinya semua itu telah dilaluinya berdasarkan pada pemahaman matang serta penghayatan kuat. Jikalau melirik masa lalu Gus Dur ternyata kematangan fikirnya tercipta dari kajian tradisinya, dari mulai kajian-kajian kitab klasik yang di bacanya. Tentunya berkat kematangan pikir dan pembentukan watak dari lingkungannya telah menciptakan hingga menghasilkan personal yang kuat dan tahan uji dengan idiologi yang dipegangnya tanpa merasa canggung dengan lingkungan, manakala sudah berseberangan dengan idiologinya atau munculnya ketidaksingkronan dari apa yang telah dipelajarinya maka takan segan untuk mengungkapkan pandangannya, memperbincangkan sekaligus juga mengkritisinya.
Sikap kritis yang telah terbangun dalam pribadinya selalu dibawa dalam setiap hal persoalan kemanusiaan. Tak sedikit isu-isu yang beredar di Indonesia yang sempat memanggil namanya untuk tampil dimuka umum menyampaikan pandangannya. Sebut saja pada saat melangitnya goyangan Inul Daratista penyanyi dangdut asal Pasuruan di tentang oleh raja dangdut, hingga mengkerdilkan keberadaan sisi kemanusiaan si ratu ngebor, Gus Dur tampil dimuka umum untuk merangkul membela kaum teraniyaya dan tak segan menyayangkan sikap yang diambil oleh sang raja. Atau disaat perundang-undangan negara merapatkan aturan untuk tidak memberikan kebebasan kepada kaum Tionghoa dalam merayakan hari agungnya, disitu pula Gus Dur tampil memberikan kebebasan kepada umat lain untuk melangsungkan hidup dengan memberikan kebebasan meyakini keyakinannya. Keberadaannya di muka umum bukan lantas karena keberadaan dirinya yang memegang kuasa atas partai politik yang pernah dibangunnya sehingga tindakannya semata-mata digunakan sebagai tindakan politik dari pribadinya, namun semua itu murni dicipta atas kesalehan keyakinan yang diyakini dan telah terbangun dari agamanya-yakni menebarkan keselamatan, serta menciptakan perdamaian.
Manusia sejatinya menjadi manusia. Dalam perangai dan perlakuan dari manusia lainnya serta hubungannya meski harus dimanusiakan karena memang manusia. Manusia dengan ke-kompleks-an yang melekat padanya menjadi fitrah yang dianugerahkan oleh-Nya dan mesti diakui keberadaannya bahwa manusia memang berbeda. Meski diliputi keber-beda-an tentu menjadi hak yang harus diterimanya untuk mendapatkan pengakuan dari yang lainnya, serta mendapatkan perlindungan dari lembaga institusi negara. Dengan begitu sejatinya manusia akan terus menjadi manusia mengakui, menghargai dan meneladani apa yang semestinya menjadi teladan kehidupan manusia di dunia agar tercipta perdamaian abadi sebagai mana telah tertuang dalam cita-cita bangsa. 

Petani dan Kebijakan; Kritik Sosial Fenomena Nusantara

Oleh : Zezen El Equilibrium
Sejarah manusia semenjak zaman Pajajaran sampai Brawijaya kaum alit terjajah dari tanahnya. Kaum alit digambarkan dalam rona kehidupan para petani desa yang hanya memliki tanah tak seberapa maupun para petani penggarap yang hanya menaruhkan nasibnya pada kebaikan si pemilik tanah yang hendak meminjamkan tanahnya untuk ia garap. Para petani semacam inilah tergambarkan dalam sejarah kehidupan manusia selalu menjadi babu di tanah sendiri atas mereka yang memiliki akses lebih semacam kedudukan, pangkat, jabatan dan lain-lain dibiarkan bergerilya merdeka di tanah ini. Mereka bergembira dengan kemerdekaannya meskipun memiliki sejarah panjang sebagai kaum pendatang maupun sejatinya tamu dari negeri-negeri jauh sana. Berbekalkan pada kedudukan dan jabatan serta modal material lainnya memposisikan diri sebagai kaum menak kerap kali menjadi aktor dalam mengolah keadaan- keadaan dimana keuntungan pribadi dijadikan sebagai tujuan agar keberpihakkan melekat padanya. Tetapi berbeda dari para petani yang menjadi sorotan sebagai penduduk pribumi sekaligus penduduk mayoritas yang memiliki tingkat mata pencahariannya sebagai petani dibiarkan membeli produk-produk industri dengan harga yang tinggi melangit, namun tak sebanding dari hasil panen yang didapatkan dikarenakan seringnya terjadi loncatan harga yang cukup signifikan.
Bahkan lebih parahnya manakala terjadi persoalan pembebasan pun tak mendapat perhitungan dari pemerintah. Pemerintah disini disandingkan kepada para pemilik kewenangan yang telah mendapatkan kepercayaan publik atas setiap diri mereka sebagai jiwa yang bebas, dengan penuh kesadaran menyerahkan kebebasannya untuk diwakilkan semata sebagai bentuk dari penyerahan diri untuk mendapatkan kenyamanan atas pengelolaan dari mereka. Sejatinya mereka mendapatkan perlakuan istimewa karena telah memberikan kepercayaan lebih untuk diberikan peraturan agar terciptanya perdamaian abadi. Hal ini berbeda dalam realitas pemerintah dalam memberikan pelayanan publik atas diri mereka yang merdeka, seringnya dibiarkan melanglang buana dalam memperoleh kemerdekaan sendiri. Jikalau demikian adanya posisi dari pemilik kuasa pun mulai diragukan keberadaannya sebagai agen yang mampu merubah keadaan mencapai perdamaian.
Baru-baru ini informasi dari menteri Puan Maharani (Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan) yang menghakimi para petani atas keadaan yang menimpa para petani dengan ungkapan kurang seronok atas penyikapan dirinya sebagai orang yang mendapatkan amanah. Ungkapan yang dirasa kurang seronoknya tersebut terdetaksi menyampaikan agar para petani lebih irit dalam mengelola kekayaan mereka. Sebuah kata bijak dari seorang pemimpin dalam menyampaikan pengantarnya menuju perdamaian, namun tak sebanding dengan gaya hidup yang sering dipamerkan kepada publik. Mestinya ungkapan itu menjadi cambuk diri bagi kawanan pemangku kebijakkan dalam menghayati kehidupannya agar memberikan teladan baik kepada warganya.
Idiologi pembebasan serta perjuangan mestinya tetap lekat erat tak surut dalam benak para pemangku kebijakkan pasca duduk dikursi jabatan. Perjuangan harus terus ditegakkan sebagai bentuk dari keberpihakkan kepada kaum lemah. Keadaan yang menjadikan kaum lemah menaruh kepercayaan itupun jua dilandaskan pada dasar bahwa adanya keyakinan untuk memperjuangkan hak-hak kaum alit. Jadi melupakan janji perjuangan merupakan pengkhianatan besar kepada bangsa, yang tak beda dengan penjajahan atas bangsanya sendiri. Pengkhianatan itu kini telah merasuk kedalam tubuh sistem kewenangan dinegeri ini. Marakkan sandiwara politik yang dimainkan oleh peran seperti Sudirman Said melibatkan aktor lama Setia Novanto serta beberapa aktor lainnya dalam skandal “papa minta saham” berujung pada perpanjangan kontrak Freeport yang telah dikenal merugikan bangsa. Begitupun akhir-akhirnya terus bermunculan berbagai tragedi Bom Sarinah, Gafatar serta ISIS yang hanya melangitkan nama-nama serta instansi-instansi yang bermain didalamnya- yang pasti semua itu telah ada yang mengaturnya dengan dalih perdamaian.
Dimana letak peran para aktivis yang menyuarakan perjuangan kaum buruh dan kaum tani? Semuanya berujung pada kursi meja makan. Beradu taktik dan dialektika dimeja perundingan,  hasil yang didapatkan pun jauh dari kata memperjuangan kaum alit. Para petani tetap pada kepribadiannya dengan pemahaman lokalnya, mereka bercocok tanam, membeli produk industri, berhutang sana-sini karena tak cukup dari hasil panen sebelumnya kemudian saat panen tiba, memeras otak untuk bisa menaruh bekal untuk beberapa minggu kedepan. Sungguh tragis nasib dari keadaan kaum tani ini. Berbekal pada beberapa meter tanah warisan turun temurun serta pengetahuan minim dari tradisi orang-orang tua namun dalam kehidupan sehari-harinya harus menerima berbagai propaganda industri tanpa diberikan pengawalan pemahaman. Tak ada filter dalam penyerapan pemahaman, bahkan pada saat pendidikan idealnya menjadi dapurnya penggodoggan (Red. Candradimuka) untuk menciptakan kualitas anak didiknya, namun ironisnya banyak diantara para pendidiknya yang terbuai dengan janji manis peraturan, memperbanyak keformal-an hingga melupakan tupoksi dari tugasnya dari seorang pendidik. Maka, jangan heran manakala pendidikanpun masih bermuka masam dalam menciptakan generasi berkelanjutan yang berpemahaman luhur.
Kesejahtraan umum yang telah tertuang dalam catatan suci cita-cita para pelopor kemerdekaan, pun terus tercederai. Dengan masih ditemukannya kejanggalan-kejanggalan sistemik yang dapat memperlambat proses perkembangan. Ketidak konsistenan dalam penerapan sebuah regulasi, penghayatan diri sebagai bangsa yang bebas dan merdeka yang mesti menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pun turut tersandra dikarenakan munculnya kepentingan golongan. Maka, cita-cita besar yang tertuang mesti terus dijaga serta dikembangkan, benteng kuat dari para idiolog yang benar-benar menjaga idiologinya demi kemenangan jangka panjang bukan luntur manakala telah duduk dimeja makan maupun pasca memakai dasi serta jas kebesarannya. Dengan demikian, pembenahan pun akan tercapai dengan tidak mementingkan kepentingan pribadi serta golongan, dengan mengeratkan kekuatan, menjaga dan memberikan pengarahan demi cita-cita besar untuk sama-sama menganggap serta mengangkat harkat martabat bangsa mencapai kesejahtraan bersama.

Kategori : Wisata

Kategori : Budaya

Kategori : Industri

Kategori : Musik

Kategori : Opini

Kategori : Pendidikan

Kategori : Pertanian

Kategori : Politik

Kategori : Teknologi

Kategori : Berita

Kategori : Film

Kategori : Kesehatan

Kategori : Olahraga

Kategori : Pemerintahan

Kategori : Perdagangan

Kategori : Peternakan

Kategori : Sosial

Kategori : Artis