Cari Berita/Artikel :

Penguasa “PERKOSA HAK” Rakyat MELARAT

Oleh : Zezen Zaenudin Ali
Perjalanan kehidupan manusia dalam sejarahnya selalu berubah menyesuaikan zaman. Dimulainya dari masa pra sejarah yang menemukan adanya zaman batu, zaman perunggu dan zaman besi[1] menjadi rentetan dari kehidupan dan peradaban manusia yang terus berubah. Sejatinya manusia dibekali akal pikiran, kehidupan manusia pra sejarahpun telah mengenal adanya rasa solidaritas yang tinggi sebagai homo saphien-makhluk sosial. Semenjak mengenal kehidupan dimasa pra sejarah, manusia tidak bisa hidup sendiri ia terus berkoloni bahkan dalam aktifitas berpindah-pindahnya pun selalu demikian. Aktifitas kehidupan nomaden[2] ini terus berlangsung cukup lama dikenal dengan zaman batu dekat aktifitasnya dengan berburu binatang. Kebiasaan berpindah-pindah;nomaden ini merupakan karakteristik dari zaman pra sejarah dengan kebiasaan berburunya. Manusia dizaman itu selalu bertempat tinggal di goa-goa sebagai tempat peristirahatan kala malam tiba serta  tempat untuk melangsungkan kehidupan dari cengkraman musuhnya.
Jauh sebelum mengenal adanya persatuan ataupun mempersatukan, kehidupan manusia begitu keras dan buas. Kebiasaannya berburu dilakukan untuk melangsungkan kehidupannya, dari hasil buruan tersebut menjadi modal untuk melangsungkan hidup. Maka kehidupan yang keras tersebut bukan berarti tidak memiliki peradaban, sejatinya itulah peradaban dimasa itu. Kebiasaan berkoloni merupakan salah satu alternatif untuk melangsungkan kehidupan, karena kerasnya dunia perburuan persaingan pun begitu jelas terlihat. Manusia merasa perlu untuk dapat hidup dan terus hidup namun disisi lain banyak makhluk hidup lain juga melakukan siklus putaran kehidupannya dengan melakukan perburuan maka disitulah letak persaingan pun begitu jelas terlihat. Hewan- Binatang menjadi contoh nyata dari perilaku demikian yang menjadi lawan sekaligus mitra untuk dijadikan sebagai santapan dari buruannya.
Zamanpun berubah jauh setelah zaman batu itu dikenalah dengan zaman perunggu dan zaman besi. Di zaman ini mulai ditemukan teknologi klasik yang digunakan untuk berburu. Selain itu juga mulai mengenal bagaimana tatacara bercocok tanam. Di zaman ini berburu masih dilakukan meskipun hanya sesekali lebih intensnya kehidupan manusia diwaktu itu telah mulai membentuk kehidupan sosialnya dengan bertempat tinggal serta bercocok tanam, menemukan tempat yang aman, melangsungkan kehidupan dengan rutinitasnya serta melangsungkan keturunan. Pada akhirnya manusiapun tidak lagi mesti berburu ataupun berpindah-pindah tempat tinggal, karena dizaman ini telah ditemukan bagaimana cara bertahan hidup dengan menetap dan bercocok tanam.
Pada akhirnya terlepas dari segala keterangan sejarah manusia dari mulai pra sejarah hingga masuk keranah zaman sejarah ini sejatinya manusia yang telah dibekali akal pikiran serta karakter sosialnya, ia akan terus mencari dan membangun clan[3] demi clan antar satu dengan lainnya. Ia akan membentuk kebudayaan, seiring berjalannya waktu, namun perlu disadari manusia sejatinya merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas, bebas memilih serta bebas dipilih. Bahkan jauh dari pemahaman kekinian pun manusia bebas memilih mana santapan serta buruan yang dikehendakinya.
Peradaban pun terus berlangsung dimana manusia yang melangsungkan kehidupannya bahkan dari berbagai sudut pandang menyebutkan bahwa kehidupan bermula dari salah seorang utusan tuhan dalam versi agama, tetapi pun demikian dari versi pengetahuan yang memberikan sumbangsih kuat atas teori evolusinya menyebutkan bahwa makhluk hidup itu akan terus berevolusi serta berasal dari sesuatu yang dulunya pernah ada.[4] Hingga menempatkan asal mula kehidupan manusia berasal dari kera. Bukan tanpa alasan tentunya ungkapannya tersebut, melainkan melalui kajian mendalam atas teori serta telaahannya tentang evolusi serta penciptaan manusia tersebut.
Namun disini penulis ingin menyampaikan bahwa atas dasar perubahan zaman dari kehidupan manusia tersebut hingga pada akhirnya sampai pada pandangan tentang kehidupan manusia yang berdaulat dan bernegara. Sejatinya manusia tadi yang dibekali kehendak bebas tersebut lambat laun meskipun dalam sejarahnya dari setiap koloninya ia akan dikawal oleh seorang pemimpin, dalam proses berburunya ia akan menentukan lokasi mana serta bagaimana strateginya kepada kawanannya, secara tidaklangsung akan ditemukanlah dari pemahaman kita bahwa semua itu disandarkan pada penguasa dan kekuasaannya. Penguasa memiliki kewenangan untuk menentukan berbagai pilihan kepada yang dikuasainya sebut saja binatang buruan serta kawanannya. Munculnya penguasa-penguasa tersebut mengantarkan pada kepentingan bersama membangun sebuah peradaban baru-bernegara.
Rousseau seorang tokoh kelahiran Geneva -Swiss mengungkapkan terbentuknya sebuah negara berdasarkan pada sudut pandang historis dimasanya yang menyaksikan aparatus negara yang menguasai merupakan orang-orang dari kalangan orang kaya maka iapun menafsirkan gagasannya tentang negara bahwa negara merupakan bentukan dari kaum kaya untuk mengamankan posisi mereka sebagai kelas dominan. Maka jikalau demikian adanya, yang terjadi akan damping dalam menjalankan kehidupan bernegaranya, penguasa hanya akan mengamankan posisinya sebagai ‘penegak’ atau yang menjalankan roda kepemimpinan disuatu negara, tetapi hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompoknya saja tanpa mementingkan kepentingan umum. Sedangkan Rousseau berpandangan bahwa mustahil memisahkan masyarakat dari politik ketidakadilan, dan itu terjadi karena ketidaktahuan mereka sehingga menerima saja keadaan masyarakat sipil tempat mereka hidup. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia kita mendapati pemahaman bahwa yang dimaksud dengan negara merupakan organisasi suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.[5] Sedangkan Gramsci menafsirkan negara dengan sesuatu yang kompleks menyeluruh aktivitas-aktivitas teoritis dan praktis. Manakala yang dituntut hanya sebatas ketaatan masyarakat tanpa mendapatkan keadilan dari penegak yang hanya sebatas mementingkan pribadi maka yang terjadi tentulah ketidakadilan.
Kekuasaan negara terletak pada rakyat yang telah memberikan kebebasan mereka pada negara maka pada gilirannya negara menjadi kehendak umum karena lahir dari penyerahan rakyat atas kebebasannya. Karena basis kontruksi atau bangunan negara ialah kepercayaan pada kehendak umum. Maka tak ada perwakilan rakyat karena kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Adapun proses menjalankannya sebuah negara meyakinai adanya kehendak umum maka rakyat sendiri menyatakan kehendaknya melalui perundang-undangan yang diputuskan. Pemerintah hanya sekedar panitia yang bertugas melaksanakan keputusan rakyat. Jadi rakyat memerintah sendiri secara langsung, apa yang dikehendaki oleh rakyat itulah hukum[6] yang harus diberlakukan, maka negara itu menjadi urusan umum.
Proses yang terjadi sekarang ini telah jauh dari pandangan Rousseau. Negeri yang mestinya berdaulat atas nama rakyat pun kian hari kian jauh dari nilai-nilai yang semestinya dijalankan oleh pemerintah. Sistem demokrasi haya terlihat dan terus dikumandangkan disaat mendekati proses pemilu semata tanpa menyandarkan esensi dari nilai demokrasi. Negeri ini telah menganut sistem perwakilan rakyat yang telah tersaring dalam prosesi pilihan umum, hasil dari saringan tersebut telah di klaim sebagai bagian dari penyerahan kehendak umum padahal siapa yang tau kehendak umum dari jumlah penduduk yang terlampau banyak ini tersebar diberbagai penjuru nusantara. Lebih parahnya lagi tidak sedikit yang menemukan atau bahkan mengakui bahwa dalam prosesi pemilu tersebut pun suara demi suara telah dibeli dengan hitungan rupiah, maka tak heran yang terjadi adalah perwakilan segala-galanya terhadap rakyat. Muncullah degelan “rakyat mengharapkan kehidupan yang mapan telah diwakilkan oleh wakil rakyat, rakyat mengharapkan rumah mewah, mobil mewah semuanya telah diwakilkan oleh dewan perwakilan rakyat.” Belum lagi keberpihakkan pemerintah kepada kaum kaya lainnya sehingga pantas jauh-jauh hari telah muncul ungkapan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.  Fenomena itu menjadikan kehidupan manusia tidak lagi merata, penyerahan kebebasan rakyat membentuk kepentingan umum pun telah melesat jauh, fenomena terus bermunculan yang tidak pernah memposisikan rakyat sebagai penguasa sejati lebih parahnya kebebasan rakyat pun dibungkam atas kekuasaan yang telah diberikannya demi mempertahankan kekuasaan dan golongannya.





[1] http://id.m.wikipedia.org
[2] nomaden merupakan aktifitas manusia sebelum memiliki tempat tinggal yang tetap yang akan terus melakukan perpindahan dari satu daerah kedaerah lain. Biasanya itu dilakukan dimasa pra sejarah- masa perburuan. Aktifitas tersebut dilakukan dalam hal berburu makanan, manakala persediaan makanan telah tiada, ia akan melakukan aktifitas berpindahnya tersebut kedaerah lain yang masih menyediakan sumber makanan.
[3] Clan merupakan kata lain dari suku atau marga
[4] Jostein Gaarder. Dunia shopie. (Bandung. Mizan. 2000). hlm. 622- 650
[5] http://ebsoft.web.id
[6] Dikutip oleh Nezar Patria dari magnis suseno. Antonio Gramsci Negara Dan Hegemoni. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2009) hlm. 95-96

Libur Panjang, Warga Berbondong-bondong Ramaikan Pasar Dadakan Bima

MBA_Line – Berita (27/12/2015)Libur panjang tahun baru, pada minggu pagi warga kota Cirebon memilih untuk berbondong-bondong datangi area Stadion Bima. Hal ini dikarenakan area Stadion Bima, Kota Cirebon selalu ramai dengan adanya pasar dadakan. Pasar tersebut buka dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB.

Sebagian besar warga datang bersama keluarga. Mereka datang dari pukul 07.00 WIB bersama orang tua, anak dan istrinya. “Datang bareng keluarga dari pukul 07.00 WIB” kata salah satu pengunjung M. Dani, Minggu (27/12/2015).

Sambil olahraga dan jalan-jalan, di pasar dadakan ini juga ada banyak penjual. Dari yang berjualan makanan hingga pakaian, mainan anak-anak hingga sewa mainan. “Beli pakaian, sarpan dan jalan-jalan sekalian olahraga” Sambungnya.

Menurut salah satu pedagang makanan di pasar dadakan tersebut, minggu kali ini pengunjung lebih rami dari minggu-minggu sebelumnya. Barang dagangan yang biasanya habis sampai pukul 09.00 WIB sekarang habis sampai pukul 08.00 WIB. “Minggu sekarang ramai pengunjungnya, alhamdulillah dagangan udah habis jam 08.00 WIB” Ujar pedagang Ibu Sari, Minggu (27/12/2015).


Oleh : Agus Wididi

Libur Panjang Tahun Baru, Pantura Brebes Macet

MBA_Line – Berita (24/12/2015) – Libur panjang Tahun Baru dinikmati oleh sebagian besar masyarakat dengan bepergian ke obyek wisata dan pulang kampung. Akibatnya arus lalu lintas di jalur pantura Brebes, Jawa Tengah padat merayap.

Kondisi tersebut terjadi dari arah Cirebon menuju Tegal. “Macet total, dari Pejagan” kata seorang pengendara Nardi yang dihubungi mbaline7.blogspot.com, Jum’at (24/12/2015).

Nardi yang berkendara dari Pejagan pukul 08.00 WIB tiba di pasar Bulakamba pukul 10.00 WIB. Dia kemudian istirahat di warung samping jalan pasar Bulakamba.

Arus kendaraan yang memadati jalur pantura datang dari tol Kanci-Pejagan yang terpantau ramai lancar. “Dari tol Kanci-Pejagan lancar, kecepatan 60 km per jam” ujar dia.

Pusat kemacetan berada di pasar tumpah Bulakamba. Ini di sebabkan karena banyak pedagang yang berjualan di bahu jalan. Sehingga membuat laju kendaraan terhambat. Arus kendaraan dari pukul 09.00 WIB sampai 10.00 WIB semakin meningkat. “Semakin siang semakin meningkat, dari jam 09.00 WIB sampai sekarang” kata salah satu Polisi lalu lintas yang sedang bertugas, Jum'at (24/12/2015).

Kendaraan yang memadati jalanan lebih banyak kendaraan pribadi. Kemacetan yang terjadi hingga kurang lebih 4 KM. “Padat merayap dari Pejagan sampai pasar” sambung Polisi.

Oleh : Agus Wididi

LOOK UP, Kita Adalah Generasi Idiot

Oleh : Yusuf Adni
Monolog Video
Perhatikan Video di Samping
Saya memiliki 422 orang teman, tapi saya kesepian. Saya berbicara dengan mereka setiap hari, namun tak satupun yang mengenal saya. LOOK UP.
Masalah yang saya alami ialah adanya perbedaan antara menatap mata lawan bicara atau hanya melihat nama orang di layar. Saya melangkah mundur dan membuka mata saya, melihat sekeliling dan menyadari bahwa media yang kita sebut social ini memang segalanya, namun ketika kita membuka komputer kita, saat itulah kita menutup pintu kita. Semua teknologi yang kita punya ini hanyalah suatu ilusi. Komunitas, persahabatan, rasa kebersamaan, ketika kamu beranjak dari perangkat khayalan ini, kamu tersadar dan melihat dunia yang membingungkan. Dunia dimana kita diperbudak oleh teknologi yang kita ciptakan dimana informasi dijual oleh orang-orang kaya rakus. Dunia yang dipenuhi kepentingan pribadi, pencitraan, promosi diri dimana kita memberikan bagian terbaik kita tanpa menggunakan perasaan. Kita merasa paling berbahagia ketika berbagi pengalaman, akankah sama rasanya bila tidak ada orang lain? Datangi teman-temanmu dan merekapun akan mendatangimu. Mereka takkan mendatangimu bila kau temui mereka di group message.
Kita selalu membanggakan diri dan mengharapkan pujian, kita pura-pura tidak menyadari bahwa kita terasing secara sosial. Kita merangkai kata hingga hidup kita indah, padahal kita tidak tahu apakah ada yang peduli. Sendirian bukan masalah, itulah intinya. Bila kamu membaca buku, melukis atau melakukan latihan tertentu, kamu menjadi produktif dan diakui, bukan hanya menjadi pelengkap. Kamu sadar sepenuhnya dan penuh perhatian dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Jadi, ketika kamu berada di tempat umum dan merasa kesepian, angkat tanganmu dan jauhkan dari telepon. Kamu tidak membutuhkannya kan? Bila perlu hapus daftar kontakmu. Saling berbicaralah. Belajar hidup bersama. Saya tidak tahan melihat keheningan dalam angkutan umum yang penuh sesak, dimana tak seorangpun ingin berbicara karena takut dibilang aneh. Kita menjadi anti sosial, kita tidak lagi terpuaskan dengan hubungan antar manusia dan saling bertatap mata.
Kita dikelilingi oleh anak-anak, yang sejak mereka dilahirkan melihat kita hidup seperti robot dan mereka menganggap itu normal. Sepertinya mustahil untuk menjadi orangtua hebat karena kamu tidak bisa menghibur anak tanpa menggunakan iPad. Saat saya kecil, saya tidak pernah di rumah. Selalu bersepeda keluar bersama teman-teman. Sepatu saya sobek dan lutut saya tergores karena membangun rumah di atas pohon. Sekarang taman sangat sunyi dan sepi. Tak ada anak-anak yang bermain, ayunanpun tak pernah bergerak. Tidak ada yang bermain, berlari dan meloncat.
Kita adalah generasi idiot : telepon pintar dan manusia bodoh. Jadi, alihkan perhatian dari teleponmu, matikan layarnya. Hidupkan lingkungan sekitarmu, ciptakan hari yang indah. Cukup satu hubungan nyata – hanya itu yang dibutuhkan untuk menunjukkan perbedaan yang diciptakan oleh kehadiran. Hadir pada saat dia memandangmu, yang akan kamu ingat selamanya saat dimabuk cinta. Saat pertama dia memegang tanganmu atau ciuman pertama di bibirmu, saat pertama kali kamu berbeda pendapat namun tetap mencintainya sepenuh hati. Saat dimana kamu tidak harus menceritakan ratusan hal yang sudah kamu kerjakan, karena kamu hanya ingin menikmati waktu bersamanya. Saat kamu menjual komputermu supaya bisa membeli cincin untuk gadis impianmu yang sekarang menjadi nyata. Saat dimana kamu ingin memulai satu keluarga dan pertama kali memegang tangan gadis kecilmu dan jatuh cinta lagi. Saat dia selalu membuatmu terjaga kala kamu benar-benar ingin istirahat dan saat kamu menghapus air matamu ketika anakmu meninggalkan rumah. Saat gadis kecilmu kembali dengan membawa bayi untuk kau gendong dan saat dia memanggilmu kakek hingga kamu merasa tua. Saat kamu mendapatkan semua yang telah kamu ciptakan dengan memberikan perhatian yang nyata. Betapa bahagianya kamu karena tidak menyia-nyiakan waktu hanya bermain dengan dunia khayal. Saat kamu memegang tangan istrimu, duduk disamping tempat tidurnya, kamu bilang bahwa kamu menyayanginya, lau mencium keningya. Kemudian dia berbisik padamu di saat-saat terakhirnya bahwa dia sangat beruntung menemukan dirimu.
Tapi semua itu tidak akan pernah terjadi. Kamu tidak akan pernah mengalami satupun hal itu bila kamu terlalu sibuk melihat kebawah, kamu akan melewatkan berbagai kesempatan. Jadi alihkan perhatian dari teleponmu, matikan semua layar itu. Waktu kita sangat terbatas. Jangan buang hidupmu dengan berkutat di internet, karena bila saatnya tiba, yang ada hanya penyesalan. Sayapun merasa bersalah dengan menjadi bagian dari ini semua, dunia digital yang kita dengar tapi tidak terlihat, dimana kita berbicara dengan mengetik dan mengobrol dengan membaca, dimana kita menghabiskan waktu bersama tanpa saling bertatap mata. Janganlah kamu masuk dalam kehidupan yang mengikuti publisitas berlebihan. Berikan orang rasa cinta dan perhatianmu. Jangan beri mereka “Like” mu. Jauhkan keinginan untuk didengar dan diakui. Keluarlah ke dunia nyata dan tinggalkan semua itu.
Alihkan perhatian dari teleponmu, matikan layarnya. Hentikan menonton video ini dan jalani kehidupan secara nyata.

Walisongo, Membalikan Prambanan-Borobudur

Oleh : Agus Wididi
Jika menggunakan ilmu perbandingan, dapat dikatakan bahwa Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan “Masjidil Haram”. Logikanya seperti ini, kalau ada “Masjidil Haram” pasti ada juga masjid-masjid kecil yang lain (musholah). Bukan tidak mungkin ketika ada tempat ibadah Hindu-Budha sebesar Candi Prambanan dan Candi Borobudur, pasti dulu juga ada tempat ibadah kecil yang lain dan tersebar diseluruh bumi Nusantara ini. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang besar ada ketika sesuatu yang kecil itu ada terlebih dahulu.
Hal ini tentu dapat kita bayangkan bahwa pada zaman dahulu umat Hindu-Budha adalah golongan Mayoritas. Kalau zaman dahulu umat Hindu-Budha sangat mendominasi di bumi Nusantara ini, lalu bagaimana bisa Walisongo dapat membalikkan kondisi dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam?
Kalau kita belajar sejarah, tentu kita semakin terheran-heran dengan Walisongo. Dalam catatan Dinasti Tang, China, pada abad ke 6 M jumlah orang Islam di Nusantara hanya berkisar ribuan orang dengan klasifikasi hanya orang Arab, Persia, dan China yang beragama Islam. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam. Dalam catatan Marco Polo pada tahun 1200-an M juga menyatakan hal yang sama persisi dengan catatan Dinasti Tang, tidak ada penduduk lokal yang memeluk agama Islam. Bukti sejarah lainnya adalah catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M. Dalam catatannya menyatakan bahwa hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi jika kita perhitungkan dari tiga catatan tersebut, lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima oleh penduduk pribumi.
Setelah beberapa tahun sesudah kedatangan Laksaman Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam). Beberapa dekade selanjutya, setelah Sunan Bonang dan Sunan Drajat dewasa (anak Sunan Ampel) dan beberapa muridnya juga telah dewasa (misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi Nusantara.
Tetapi anehnya, pada dua catatan para penjelajah dari Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M menyebutkan bahwa bangsa Nusantara mayoritas memeluk agama Islam. Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam waktu kurang dari 50 tahun Walisongo dapat meng-Islamkan banyak manusia Nusantara? Perlu diingatkan, zaman dahulu tidak ada mobil atau motor, bahkan jalananpun masih belum sehalus sekarang, dan juga belum ada telepon maupun pesawat terbang. Dilihat dari segi ruang dan waktu, tingkat kesukaran dakwah Walisongo sangat luar biasa beratnya. Hingga para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menjelaskan bagaimana bisa Walisongo melakukan hal tersebut? Membalikkan kondisi dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam dalam waktu kurang dari 50 tahun. Padahal sudah terbukti bahwa sudah 800 tahun lebih penduduk pribumi Nusantara tidak ada yang mau memeluk agama Islam. Dan pada akhirnya, para sejarawan dunia sepakat bahwa cara pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Walinsongo melalui “kebudayaan”.
Menurut saya pribadi (mugkin saja dapat disalahkan), pendekatan dakwah melalui kebudayaan hanyalah sebuah “wadah” dimana didalamnya mengandung sebuah “isi” yang dapat dimaknai secara lebih mendalam. Hal ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam metode dakwahnya. Bukan tidak mungkin kalau Walisongo meniru persisi apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah untuk mengenalkan agama Islam. Nabi Muhammad SAW pada waktu itu adalah “satu-satunya” yang mengenalkan agama Islam di padang pasir sana (Jazirah Arab), begitupun Walisongo, dapat dikatakan sebagai “satu-satunya” yang mengenalkan agama Islam di bumi Nusantara ini (Indonesia).
Berkat niat yang tulus dan penuh kasih sayang, Nabi Muhammad SAW berhasil meluruskan orang-orang yang tersesat. Dalam kurun waktu 23 tahun Beliau berhasil menyebarluaskan agama Islam. Bukan tidak mungkin ketika Walisongo menjalankan apa yang Nabi jalankan, dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun, mayoritas penduduk Nusantara telah memeluk agama Islam sesuai dengan catatan yang ditulis oleh para penjelajah dari Eropa tersebut diatas.
Pernah suatu hari mendengarkan cerita mengenai Walisongo. Ada salah satu murid dari salah satu anggota Walisongo ragu atas ke_Esaan Allah SWT, kemudian murid tersebut bertanya “Tuhan kok jumlahnya satu? Apa tuhan tidak repot mengurus orang yang banyak? Apa ada yang terlewatkan dan tidak diurus nantinya?”. Sunan tersebut hanya tersenyum ketika ditanya hal tersebut, justru mengajak untuk menonton pagelaran wayang kulit. Singkat cerita, kanjeng Sunan berkata pada muridnya, “Bagus ya cerita wayangnya” si murid menjawab dengan semangat tentng lakon wayang malam itu. Kemudian kanjeng Sunan bertanya, “Bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang?”. Si murid langsung menjawab, “Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang yang lain ambil wayang yang itu, bisa-bisa jadi tabrakan”. Kanjeng Sunan hanya tersenyum mendengar jawaban tersebut. Seketika itu murid pun beristighfar dan mengaku sudah  paham konsep ke_Esaan Allah SWT. Begitulah “isi” dakwah Walisongo dengan “wadah”nya adalah pagelaran wayang kulit.
Ada juga cerita mengenai asal usul daerah yang tidak boleh menyembelih sapi, yang melibatkan Walisongo dalam mengenalkan agama Islam untuk selalu bertoleransi, menghargai dan menjaga perasaan orang lain. Di atas fikih ada ushul fikih, dan diatasnya lagi ada ilmu tasawuf. Mengahargai perasaan orang lain lebih diutamakan daripada sekedar mengucapkan “ini yang halal-ini yang haram, ini yang benar-ini yang salah”. Kebaikan lebih diutamakan daripada kebenaran.
Sepertiitulah ketika Walisongo mengenalkan agama Islam. Begitu besar candi Prambanan-Borobudur, begitu besar pula ajaran dan kebudayaan Hindu-Budha di bumi Nusantara ini. Dengan kebudayaan sebagai “wadah”, ajaran baru_pun dapat masuk melalui wadah tersebut untuk menyampaikan “isi”nya. Begitulah ketika Walisongo membalikkan Prambanan-Borobudur.

*Dikutip dari berbagai sumber.

Ilmu Hanya Alat, Pemahaman Tentang Diri

Oleh : Rahmat Nuriyansyah
Dulu, ketika buku tentang psikologi eksistensialis humanistik pertama dibaca. Ada kalimat yang menarik, yaitu setiap insan akan dikenai dosa “eksistensialis”. Sebuah dosa penyesalan dan perasaan bersalah / self guilty, ketika tidak mampu menjawab rangkaian pertanyaan : …. siapa, darimana dan hendak kemana dirimu     Pertanyaan yang harus dijawab. Sejak para nenek moyang dijaman pra-sejarah, sampai detik ini dijaman super modern, pertanyaan eksistensialis tadi terus bergema disetiap insan yang bernama manusia. Sementara hidup dibatasi oleh waktu.
Jawaban demi jawaban diberikan pada setiap jamannya. Sejak jaman arsitoteles, lalu descartes yang berpidato aku ada karena aku berfikir (Cogito ergo sum). Bahkan yang paling nyeleneh seperti dari Albert Camus, aku ada karena aku memberontak. Demikian pula dengan wejangan para filsuf yang lain, layaknya nabi nabi baru dijamannya masing masing.
Lalu sejumlah ilmu (science) disusun berdasarkan pengetahuan yang relevan knowledge), demikian pula dengan rekayasa aplikasinya (teknologi). Namun intinya sama saja, yaitu untuk pemahaman tentang diri, dan segala sesuatu fenomena yang terjadi disekitar kita. Ilmu berkembang dengan sekian banyak pencabangan, menuai pra spesialis untuk memperdalam apa apa yang belum diketahuinya.
Fisika sebagai salah satu sokoguru utama filsafat ilmu tak pernah puas. Besaran newton tak memberi jawaban memuaskan. Dikembangkan ke humum relatifitas pada astronomi, tak pula menenangkan hati. Lalu diperdalam ke lekuk yang paling kecil. Atom dari John Dalton dikupas oleh Rutherford dan Planck cs. Fisika quantum semakin menekuk ke tingkat sub partikel atomik, berujung pada partikel quarks, dengan ikatan-ikatan gluon. Dentang kematian muncul dari Schrodinger, bahwa atom alias materi keberadaannya relatif, antara ada dan tiada… nah lho !
Setiap titik dalam ruang waktu, jangan dilihat sebagai “point-particle” karena ujungnya akan berupa dimensi 0. Sebaliknya mesti dicoba dari dimensi ke 1, yaitu berupa benang alias dawai (punya panjang 10^-33 cm), sehingga memunculkan fisika teori jenis baru, menandai kelahiran teori super-string. Konsekwensi logisnya, alam semesta tidak bisa berdimensi 4, yaitu panjang lebar tinggi dan waktu, yang membentuk konsep ruang-waktu (space time continuum) namun setidaknya harus berdimensi 10 agar stabil.
Tetapi kan dawai bisa bergetar, kaya senar gitas membentuk “world sheet”. Lagipula benang-benang ini bisa pula dianyam membentuk lembaran. Oh kalau begitu, pengembangan dari teori superstring adalah teori m-brane (membrane) alias mother brane. Induk dari semua keberadaan di alam semesta ini. Sehingga beberapa ahli menyatakan, bahwa alam semesta ini sesungguhnya adalah jaring-jaring interferensi kosmik belaka, yang menyatukan seluruh eksisten dalam sebuah mega-domain.
Teori m-brane dan yang sejenisnya seperti super-gravity, niscaya membutuhkan dimensi ke 11, alias tambah 1 dimensi lagi. Tapi sebentar … apapun itu akan melahirkan dualisme alias membrane berdua muka (sisi). Sebuah keseimbangan simetris, atas – bawah, kiri – kanan , siang – malam, benar - salah, baik – buruk, laki – perempuan, dll. Untuk itu harus ada yang menerangkannya dalam sebuah ke “satu” an yang utuh. Layaknya rumus integral, kebalikan dari diferensial. Cumrun Vafa, fisikawan asal Iran yeng bermigrasi ke Amerika mendorong konsep baru. Dibutuhkan dimensi ke 12, untuk mengetengahkan f – teori (Father theory), yang mampu menjawab tentang fenomena dualisme pada m-brane dan superstring …
Pening ah kepala. Untuk memahami diri, serta memahami realitas dan fenomena di alam semesta tidak semudah yang dikira. Berkembang dan bercabangnya ke ilmu an, hanya membentuk para spesialis. Menjadi relatif tidak mudah untuk menjadi seorang generalis, padahal pemahaman tentang seluruh realitas hanya mampu dijawab jika dilihat secara holistik – sistemik – organismik (menyeluruh – utuh – tumbuh).
Filsuf dijaman dulu, lebih mudah menjadi generalis, mulai dari Ibnu Sina sampai Leonardo da Vinci dan Galileo Galilei. Karena perkembangan ilmu belum seperti saat ini.
Dari gambar …. bisa dilihat, korelasi antar disiplin sokoguru filsafat ilmu, yaitu fisika, biologi dan psikologi. Yang semula sederhana lalu berkembang kearah kompleksitas yang tak terbayangkan. Simplisitas di dunia materi (4 dimensi terbawah, alias langit ke 1 atau lower dimension), mengarah semakin kompleks saat dinaikan ke arah higher dimension.
Pada biologi ada batu sandungan “blue-print” alias sempritan kue, yang ada ditataran dimensi ke 5 s/d 10 pada fisika superstring. Dalam psikologi harus bergeser ke arah psikologi kognitif dan pendekatan kesadaran berupa aliran energi psikis. Berada pada tataran energi yang berfrekwensi sangat rendah (Extra Low Freq), sehingga bagaimana sebuah kecerdasan bisa dikolektifkan antar sesama species, seperti yang diterangkan oleh Rupert Sheldrake dalam Morphogenic Resonance nya. Seperti juga The Field dari Lyne Mc Tagart, yang juga bicara tentang interferensi kosmik ini.
Sementara dalam kosmologi (fisika macro) ternyata teori Big Bang dari George Gamow, harus di koreksi oleh Allan Guth cs, dengan teori inflasinya. Sebuah pendekatan sehingga keberadaan langit (false vacuum) dan bumi / alam semesta materi (true vacuum) menjadi terjelaskan.
Stop, apapun pendekatan keilmuan itu, akhirnya akan membuat pusing kepala. Spesialis seperti penggali sumur, yang semakin lama semakin dalam, lalu mendongak keatas, seraya melihat langit hanya sebesar uang benggol. Dari dasar sumur, dia hanya mampu melihat 10 bintang yang nampak, padahal ada triliunan bintang dan galaksi di alam semesta ini.
Ilmu, apapun itu, hanya alat, tak kurang dan tak lebih. Seperti joran untuk memancing ikan. Yang hanya diakui sebagai joran, apabila menghasilkan ikan yang mampu dikailnya sebagai output. Namun ikan, tak ada gunanya jika tidak bisa dimakan karena beracun. Bahkan ikan yang tak beracun, juga tidak berguna jika tak dimasak untuk jadi lauk panganan. Dan seberapa hebat, bergizi dan lezat panganan, menjadi tak berarti apa apa, ketika selera dan kemauan untuk memakannya tak ada.
Persis seperti apa yang terjadi saat ini.
Ujung dari ilmu adalah filsafat ilmu, yang puncaknya adalah etika. Sedang ujung dari agama adalah ahlak, senantiasa berbuat baik dan bermanfaat positip bagi diri dan sesamanya.
Namun ilmu banyak yang hanya jadi untaian gelar dibelakang dan didepan nama. Seperti juga agama, yang hanya jadi sekedar sebutan gelar Ust, KH, Hjh …. jauh dari etika dan ahlak.
Jika ini yang terjadi...? Maka sidang dari para ‘yang mulia” digedung Senayan. Hanya menjadi sidang etika yang sama sekali tak etis. Hanya sekedar sidang ahlak yang bisa ditransaksikan. Bak ilmu yang kehilangan makna. Bak joran yang sekedar jadi hiasan dinding. Padahal dosa eksistensialis, akan tetap mengikuti. Bahkan sampai ketepi liang lahat kelak.

Selamatkan Generasi Dari Kejamnya Polusi Batubara

Oleh : Bontot Ferdiaz Ardhitama

Pelabuhan Cirebon merupakan salah satu pelabuhan yang memiliki nilai sejarah dan peranan ang sangat penting bagi masyarakat pada umumnya. Peranannya seagai pelabuhan dengan perkembangannya berganti fungsi mulai dari sebagai tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan maupun kapal-kapal besar, kemudian sebagai tempat bongkar muat akomodasi komoditas seperti kerajinan rotan dll. Yang pada akhirnya pada tahun 2003 berganti menjadi bongkar muat komoditas hasil bumi yaitu batubara dn minyak.
Pergantian peran pelabuhan disebabkan pada tahun 2008 tercatat bahwa industry-industri beralih menggunakan batubara, sehingga dominasi bongkar muat dari tahun 2003 sampai sekarang setiap tahunnya meningkat. Setiap harinya kurang lebih dari 300 truk pengangkut batubara keluar-masuk dari pelabuhan selama 24 jam, yang seterusnya untuk didistribusikan di berbagai industry-industri yang tersebar di kota-kota besar seperti Kota Bandung, Kota Cimahi, dan sebagainya.
Dalam perjuangannya masyarakat Kelurahan Panjunan yang terwadahi dalam Paguyuban Masyarakat Panjunan Bersatu (PMPB) sudah melakukan berbagai macam ikhtiar untuk diberhentikannya aktifitas bongkar muat batubara tersebut, mulai dari pegadaan rapat sampai penyuratan kepada berbagai pihak yang terkait khususnya DPRD, Walikota, Gubernur, Kementrian yang terkait dan pihak PT. Pelindo II sendiri. Yang pada akhirnya keluarlah Surat Rekomendasi dari walikota pada tanggal 5 November 2015. Namun dari hasil penelusuran kami menemukan belum adanya deadline atau kepastian yang jelas untuk memberhentikan aktifitas bongkar muat batubara.
Dari dampak bongkar muat tersebut menghasilkan berbagai masalah seperti dampak pada kesehatan masyarakat dan rusaknya ekosistem disekitar aktifitas bongkar muat yang dikarenakan polusi partikel batubara yang berterbangan sejauh puluhan kilometer dan sisa bongkar muat juga berjatuhan kedalam air pada daerah pesisirnya. Dapat dibaca dibawah ini merupakan aspek-aspek dari polusi batubara antara lain :
1.        Aspek Kesehatan dari Polusi Bongkar Muat Batubara
Masyarakat yang berada di Kelurahan Panjunan terdiri dari 10 RW dengan jumlah penduduk 12.492 jiwa (April 2015). Secara jelas terkena dampaknya terkhusus di RW : 01 dan RW : 10 yang langsung berbatasan dengan pelabuhan.berdasarkan data yang diperoleh dari puskesmas pesisir tercatat pada tahun 2013 bahwa 36,66% jiwa terkena 7 penyakit pernafasan seperti ISPA, batuk, bronchitis dll. Pada tahun 2014 terjadi kenaikan prosentase sebesar 2,35% yaitu dari 36,66% naik sebesar 39,01%. Dari hasil wawancara dengan warga disekitar terdapat kabar bahwa dampak bongkar muat batubara sudah menelan korban jiwa dikarenakan hidunya penuh dengan debu batubara.

2.        Aspek Lingkungan dari Polusi Bongkar Muat Batubara
Di dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah telah menerapkan berbagai peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Hal tersebut untuk membatasi berbagai pencemaran yang diakibatkan dari suatu aktivitas perindustrian maupun jasa perindustrin, baik itu bekenaan dengan air, udara, dan daratan dilakukan oleh WALHI yag kemudian dilegalkan menjadi sertivikat dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan nomor: 128/P3KL2/09/2015 yang hasil analisisnya dari empat titik koordinat menunjukan bahwa salah satu titik koordinat S060 42’28.3 dan E1080 34’03.2 atau di Balai Pendidikan dan Sosial RT:03/RW:10 Kel. Panjunan Kec. Lemahwungkuk Kota Cirebon yaitu mengumumkan hasil tentang baku mutu udara ambient sebesar TPS 249 g/Nm3.
Secara umum batubara merupakan bahan bakar termurah namun tidak bisa kita akui bahwa batubara merupakan bahan bakar yang bersih. Di dalam dur hidup batubara menunjukan kekotoran-kekotoran yang sangat signifikan yang berdampak pada alam dan makhluk hidup. Mulai dari ditambang sampai pada pengelolaan (pembakaran) untuk industry-industri. Ditambang, batubara mengalami proses pemiliha dan pencucian yang kemudian meninggalkan limbah buangan berupa logam berat dan zat kimia beracun yang dapat mencemari air dan membunuh ekosistem di dalamnya. Pada pengangkutan dan pengiriman batubara melalui transportasi darat, air maupun udara meningglakan/menerbangkan debu batubara yang ukurannya bisa sampai tak kasat mata yang berakibat penyakit jantung dan paru bila terhirup manusia. Kemudian dalam pengelolaan (pembakaran) yang dilakukan industry pengguna batubara (misal: PLTU bertenaga batubar), sisa pembakaran batubara berupa asap (mengandung unsur kimia seperti Nitrogen Iksida, Sulfur Dioksida, Partikulat Ozon, Karbon Dioksida dll) yang keluar pada cerobog asap dapat mencemari udara yang bisa mengakibatkan perubaha iklim.
Kembali ke Cirebon, pada kenyatannya Kota Cirebon sudah mengalami darurat polusi mulai dikarenakan factor kendaraan yang banyak dan terus bertambah, factor pembangunan gedung-gedung yang mengikis lahan-lahan produktif, factor tidak adanya hutan kota, factor kepadatan penduduk dan ditambah karena factor polusi batubara. Kencintaan masyarakat dan pemerintah pada Cirebon merupakan kecintaan yan semu dan omong doing! Karena dalam pengelolaan wilayahnya saja ternyata sudah ikut berpartisipasi merusak ligkungan hidup dan mengambil keuntungan pribadi/kelompok terkhusus Pejabat Pemerintah Kota Cirebon. Akankah kita akan terus menutup mata dan acuh akan keadaan yang sudah jelas membunuh kita dan generasi penerus secara perlahan?

3.        Aspek Hukum dari Polusi Bongkar Muat Batubara
Dari hasil analisis yang sudah dipaparkan di atas tentang baku mutu udara adalah sebesar TPS 249 g/Nm3. Hasil analisis tersebut sudah bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 yang telah menetapkan ketentuan tentang baku mutu udara ambient nasional sebesar TPS 230 g/Nm3. Hal ini menunjukan bahwa sudah sangat jauh dari asas manfaat dan keadilan. Bilamana kita merujuk pada Keputusan Kementrian Lingkungan Hidup No.2 Tahun 1988 hanya menetapkan baku mutu sebesar TPS 0,28 g/Nm3.
Di dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 dari ketidak sesuaian tersebut sudah masuk dalam definisi Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk/dimasukannya mahluk hidup, zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Lebih lanjut menurut pasal 87 (1) berbunyi : “Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
Hasil analisis sudah tidak mengindahka amanat UUD 945 pada pasal 28 huruf (H) angka (1) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dan seterusnya dalam pasal 28 huruf (I) angka (4) menyampaikan bahwa : “Perlindungan, Kemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah Tnggungjawab Negara, terutama PEMERINTAH”.

ABDI TANAH SENDIRI: REFLEKSI PENDEKATAN AGAMA

TAMU adalah RAJA, tetapi RAJA yang BAGAIMANA, jikalau demikian adanya TUAN RUMAH adalah ABDI untuk RAJA yang BAGAIMANA

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

 “Tuan rumah memiliki hak untuk menerima maupun menolak sesuatu yang berhubungan dengannya seperti yang berkaitan dengan menerima atau menolak tamu yang datang ketempatnya”. Haknya berkaitan dengan prinsip dasar bahwa ajaran moral bertamu merupakan kebaikan, senyatanya itu menjadi suatu keharusan. Tetapi menakala telah menyudutkan tuan rumah, maka hak bagi tuan rumah untuk menolak atau bahkan mengusirnya. Dengan kata lain, tuan rumah memiliki hak untuk memperoleh kenyamanan dari tamunya. Segala hal apapun manakala telah dimunculkan haknya tentu akan disandingkan dengan kewajibannya. Maka bermula dari pandangan dasar ini, tuan rumah memiliki kewajiban untuk menyegerakan hidangan seadanya manakala menerima tamu, menjaga kehormatan dan kenyamanan bagi si tamunya. Bahkan ajaran agama mengajarkan kedudukan dari kewajiban menyegerakan sesuatu dikumpulkan kedalam beberapa hal diantaranya bersegeralah dalam menghormati tamu, mengawinkan anak perempuannya serta dalam menguburkan mayit.
Namun penulis hanya ingin menyoroti satu bagian dari ajaran agama ini, yakni menyegerakan menghormati tamu. Bagi penulis ajaran tersebut telah mendarah daging sebagai jelmaan dari hasil ajaran lingkungan dan pengabdian diri terhadap ajaran tersebut karena kebetulan telah menjadi bagian transenden dengan keyakinan dasar yang telah terbangun maka tuan rumahpun memiliki aturan main dalam proses menjalankan kehidupan dikerajaannya-red: rumah. Yakni melekatkan kepada si tamu untuk mengikuti aturan main dari situan rumah, anggap sebagai kewajiban bagi si tamu.
Jikalau tatanan kehidupan tuan rumah dalam lingkungan yang memiliki ajaran yang kental dengan ketaatan beragama, maka menjadi kewajiban bagi sitamu untuk mengikuti aturan main dari si tuan rumah. Kenapa hal demikian meski diamini bagi si tamu? Sejatinya semua itu sebagai penghormatan kepada situan rumah yang telah memainkan perannya memegang teguh aturan main dari keyakinan dasarnya, pun juga sebagai bagian yang tidak terjewantahkan dari penghayatannya sebagai umat yang diberikan kewajiban dari ajaran agamanya- menghargai diri sendiri serta menghargai orang lain. Alasan kedua Kenapa mesti mengamininya karena hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungannya mengharuskan untuk taat, maka dengan mengikuti aturan main tersebut menjadikan dirinya dan situan rumah dapat diterima dilingkungannya.
Lebih jauh lagi kegiatan-aktivitas beragama dapat mendekatkan hubungan sosial agar dirinya dapat diterima dilingkungannya. Misalnya mereka yang menyadari dengan penuh kesadaran manakala datang ke suatu negara yang memili ajaran mayoritas semisal muslim bagi dirinya sebagai orang asing, mau tidak mau mesti mengikuti aturan main dari tuan rumah, dengan menceburkan diri bergumul dengan umat mayoritas melalui ajaran yang diyakininya, maka tak jarang kita temukan adanya mu’alaf di beberapa daerah. Semua itu bisa saja sebagai jalan untuk dapat memposisikan diri agar dapat diterima ditengah-tengah lingkungan religius. Menurutku ini rasional, kenapa karena agama tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi semata, salah satunya pendekatan filosofis terhadap agama bahwa agama telah diakui memiliki tiga dimensi, diantaranya terdapat dimensi personal, budaya dan ultimate.  Adapun yang dimaksud dimensi personal mungkin bagi mereka yang menganggap bahwa kegiatan-aktifitas beragama merupakan bagian dari kewajiban dirinya dengan Tuhannya, jadi tak ada aturan main yang dapat mengikat dirinya untuk berlaku taat atau tidaknya menghamba pada-Nya seperti aturan lingkungan,  jadi si tamu memiliki haknya manakala tidak ingin mengekspresikan kegiatan beragamanya manakala bertamu. Semua itu dibenarkan adanya. Adapun penjabaran dari dimensi budaya salah satu penjabarannya terdapat dalam aktifitas ramainya mu’alaf ditahun-tahun pertama kehadiran orang asing yang kemudian setelah mendapatkan posisinya ia akan kembali pada ajaran lamanya, hal ini senada dengan fungsi dari membaurnya agama yang memiliki dimensi budaya pun juga menjadi jelmaan dari fungsi sosial. Kemudian Ninian Smart seorang fenomenolog dan sekaligus pula sebagai filsuf agama menjelaskan dalam agama terdapat lebih dari tiga dimensi bahkan tujuh dimensi dalam agama, yakni dimensi mistik;naratif, ritual, sosial, etis, doktrinal, pengalaman dan dimensi meteriil.[1]
            Berbicara agama dengan menggunakan pendekatan filosofis merupakan pilihan bagi segelintir orang yang memiliki ketertarikan menyelami hasanah agama. Agama menjadi bagian yang dapat saja disandingkan dengan filsafat meski menjabarkannya memiliki keanehan tersendiri. Kawanku pernah berucap bahwa mempelajari agama diawali dengan keimanan serta penyerahan diri kepada-Nya. Berbeda dengan filsafat, aktifitasnya dimulai dengan meragukan segala sesuatu dengan mempertanyakan kembali. Jelas keduanya memiliki perbedaan yang lengkap dan menyandarkan kedua hal yang berbeda bagaikan menyatukan kucing dengan anjing dalam sejarahnya memiliki tingkat kesulitan yang tidak diragukan. Namun meskipun demikian, bukan berarti perbandingan yang jauh berbeda tersebut tidak bisa disandingkan, buktinya kadangkala kita menemukan adanya hubungan yang harmonis dari kucing dan anjing, maka tentu tidak ada keraguan bagi agama dan filsafat pun dapat disandingkan.
            Aktifitas dari filsafat adalah belajar bagaimana berfikir[2]- yakni suatu proses yang melibatkan produksi bagaimana menghasilkan alasan dan argumen. Produksi alasan dan argumen tersebut menandakan bahwa sedang melakukan aktifitas berfikir tentang apa yang dikatakan atau apa yang diyakini atau bagaimana memiliki pandangan serta asumsi dan mempertahankan pandangan tersebut agar mampu diterima- sedang berusaha untuk menemukan cara untuk mendukung dan membenarkan pernyataan-pernyataan kita. Dengan menghasilkan-memproduksi argumen bukan berarti memaksakan kehendak agar hasil argumennya dapat diterima tentu itu tidak bisa dibenarkan dalam aktifitas berfikir ini, tetapi yang dimaksudkan dengan pendekatan filsafat dengan mengembalikan posisi filsafat sebagai mana mestinya yakni kekhasan dari kegiatannya ialah dengan meletakan serta meragukan kebenaran kebenaran yang ada. Dengan demikian berfilsafat dapat memaksa kita untuk kembali memutar memori kebenaran yang telah diakui dan diimani, mempertanyakan kembali kebenaran serta dasar dari sikap pembenaran pada pegangan yang telah terbangun. Dengan demikian, keimananpun akan teruji dengan gelombang kegelisahan yang menghantam melalui pertanyaan-pertanyaan. Bukankah untuk mengetahui tingkat keimanan dapat melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, sudahkah kita berlaku sesuai dengan ajaran agama yang dikehendaki oleh agama yang kita yakini. Manakala lautan keraguan atas penghayatan kita terhadap agama telah terbuka bukankah akan semakin menambah tingkat keimanan terhadap ajaran-Nya dengan berlaku sesuai dengan ajaran-Nya. Sama halnya dengan melakukan rutinitas ibadah solat bukan karena semata untuk menghilangkan- menggugurkan kewajiban kepada-Nya tetapi senyatanya karena memang diri kita merasa butuh untuk melaksanakan kewajiban tersebut.


[1] Peter Connolly. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LKiS. 2002 ). Hlm: 9
[2] Ibid. Hlm: 159

Indonesia MERDEKA 17 Agustus 1945

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

Terminologi merdeka dalam kamus rujukan standarisasi nasional[1] diterjemahkan dengan kata ‘bebas’ baik dari perhambaan, penjajahan, dsb; berdiri sendiri: manakala disandingkan dengan  proklamasi 17 Agustus 1945 , tidak terkena atau lepas dari tuntutan: dari tuntutan penjara seumur hidup; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Ber-rentet-an arti dari kata merdeka seolah memberikan informasi yang cukup layak dicerna dan dinikmati keberadaannya dalam memori ingatan serta tindakan. Kata lainpun muncul sebagai jelmaan dari  bahasa asing diistilahkan dengan freedom[2] menandakan makna yang sama.
Salah satu dari penjelmaan mekna merdeka ialah bebas. Bebas merupakan kata yang dekat untuk menyandingkan kata lain dari makna merdeka. Bentuk penyaluran kata bebas bisa dipakai untuk memberikan jalan aplikatifnya dengan ungkapan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum-publik. Prilaku aplikatif dari bebas ini menjadi senjata ampuh pasca kemerdekaan republik Indonesia sehingga tak ayal bermunculan dalil untuk mengsangkralkan tindakan eksploitatif penyaluran pendapat melalui berbagai media.  Bukan hanya itu, kata bebas disinipun menjadi karakter khusus yang mesti adanya dalam ruang lingkup manusia yang merdeka, terlebih dalam nuansa pemerintahan yang menganut sisitem demokrasi. Namun meski demikian karakteristik dari merdeka bukan menjadi senjata satu-satunya dalam mengeksplorasikan sikap maupun tindakan yang bebas. Kebebasan menjadi momok yang dapat saja disalah artikan manakala dibiarkan begitu saja pemahamannya. Tentu mesti ada bataasan tertentu yang menghentikan gerak mekna bebas, maka perlu diperhatikan pula dalam kebebasan terdapat batasan-batasan.
Menyampaikan pendapat dimuka umum menjadi sorotan dalam mengungkap aplikatif dari makna merdeka yang diterjemahkan dengan kata bebas. Ruang publik menjadi hak setiap warga yang sifatnya dimiliki oleh setiap orang, maka manakala menyampaikan pendapat diruang publik meski bukan semena-mena mengganggu yang lain. Penyampaian pendapatnya diberikan kebebasan sejauh masih dalam tataran kebebasan yang tidak mengganggu aktifitas dari penikmat lain, maka manakala sudah mengerucut pada aktifitas yang mengganggu tentu kebebasan itupun menjadi batasan yang berlaku dari kemerdekaan. Kata kuncinya terletak pada batasan dari merdeka yang diterjemahkan dengan istilah bebas yakni bebas disini yang memiliki batasan. Batasan tersebut bukan berarti tak mendasar, terlebih bagi negeri ini yang berpenduduk plural, kebebasan yang bertanggungjawab memang menjadi kewajiban bagi kita untuk diperhatikan sebagai sikap menjaga perdamaian.
Lebih jauh dari aplikatif kata merdeka, bahwa merdeka menjadi jelmaan hak setiap pribadi warga negara republik Indonesia semenjak lepas penguasaan Jepang  dimasa kolonial pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Seyogyanya tanah air menjadi milik bersama setiap warga negara, dimana tanah, air, udara serta kekayaan lain dari bumi Indonesia menjadi kekayaan bersama yang kemudian diamanatkan kepada negara untuk memanfaatkannya demi terciptanya kesejahtraan bersama-rakyat yang menjadi warga negara. Amanat ini telah terukir indah dalam barisan aturan suci yang telah tercatat rapih dalam Undang-undang 1945. Menjadi tanggungjawab bersama mengobarkan amanat besar tersebut dimana negara sebagai lembaga institusi yang telah merangkul segenap warganya untuk tunduk dalam aturan tersebut. Maka dengan mengakui keberadaan warga sebagai bagian dari negara yang memiliki tanggungjawab untuk bisa mengoptimalkan pemanfaatan kekayaan negara sebagai bentuk dari pengaplikasian membentuk kesejahtraan warganya menjadi sebuah keharusan. Berbagai aturanpun dibuatnya untuk menyematkan kemerdekaan milik bersama, meneladani ajaran para pendahulu dimana masa kolonial telah merugikan berbagai unsur masyarakat serta institusi.
Indonesia penduduk mayoritas bermatapencaharian sebagai petani didukung dengan luas daratan menghampar dari ujung barat sabang sampai ujung timur merouke dengan kesuburan tanah yang tidak diragukan. Kesuburan tanahnya menyilaukan bangsa asing karena mampu memunculkan beragam hasil bumi yang berlimpah. Kekayaan itu yang dimasa kolonial menjadi daya tarik utama yang tentunya perlu disadari dengan penuh kesadaran bahwa tepat adanya Indonesia sebagai negeri agraria. Beragam tanaman tumbuh subur yang mestinya dapat mensejahtrakan kehidupan warganya, memberikan aura positif demi terciptanya manusia berperadaban. Hanya kekuatan itu hilang sebagai mana dirasakan sejak awal kemerdekaan hingga kini, mayoritas petani dengan kepemilikan lahan nan luaspun masih belum terhitung dalam kategori sejahtra skala mayoritas, ditemukannya diberbagai penjuru aroma kemiskinan mendera. Lebih tepatnya dunia internasional masih menempatkan Indonesia sebagai negara miskin-berkembang. Tentu ini memberikan dampak negatif yang akut bagi kesadaran bangsa. Terlepas dari merdeka yang dipahami sebagai mana mestinya, tetapi amanat undang-undang dasar sangat memberikan ruang bagi warganya untuk sampai pada panggung kesejahtraan dalam kategori internsional.
Maka mengamini kemerdekaan Indonesia yang telah berumur ini, menjadi catatan penting bahwa keberadaan negara belum senyatanya memberikan ketenangan bagi warganya. Asumsi ini dilandaskan pada berbagai fenomena yang kian hari membanjiri media ditengah-tengah kehidupan kita bahwa beragam potret kemiskinan terus terpampang dalam gambar berjalan, mulai dari kelaparan yang mendera warganya, di sektor kesehatan berbagai penyakit mendera serta penanganannya yang kurang kondusif, lemahnya tingkat pendidikan dalam kancah nasional jika dibandingkan kenegeri tetangga, sekalipun sejarahnya pernah ngaji dinegeri ini serta banyak lagi potret lain dari jelmaan kemiskinan yang mendera negeri ini. Semua itu bukan lantas karena rentetan sejarah panjang negeri ini yang dijadikan sandaran sebagai patokan bahwa mental yang diterapkan dimasa kolonial masih mendarah daging dalam memori serta tindakan, tetapi jauh dari itu, zaman terus berubah generasi silih berganti mestinya peperangan mental kolonial telah hilang berjalannya perubahan generasi. Maka terdapat kesalahan dalam penyaluran kesadaran ini dimana tanah serta kekayaan ini milik semua warga negara.


[1] Ebta Setiawan. KBBI offline Versi 1,5 freeware . 2010-2013
[2] Ebta Setiawan. Kamus offline bahasa English-Indonesia Freeware.2006-2009 

Aktivis, Jalan, Ketidakbenaran & Rintih Negeri Merah Putih


Oleh : Rahmat Nuriyansyah

ENTAH SIAPA YANG ANTI TEORI ..?
Risalah yang terpaksa di recycle karena menilik chaos kepemimpinan di negeri ini, saat ini.
Dulu,
Salah satu warisan yang masih tersisa dikepala, dari memory pendidikan dasar 44 th yang lalu, adalah semacam rukun iman, alias rukun kepercayaan yang harus dipatuhi, saat melakukan pengembaraan ditengah persoalan hirup pikuknya suatu bangsa.
Dengan urutan / hierarki prioritas sbb :
1.        Percaya pada TUHAN YME, karena Dia lah sang penentu dari setiap usaha yg kita lakukan.
2.      Percaya pada DIRI SENDIRI, yaitu menyiapkan kualifikasi dan kompetensi diri, dengan berbagai ilmu dan ketrampilan yang dibutuhkan pada saat pengembaraan, melalui proses pendidikan dan latihan yang berkelanjutan.
3.        Percaya pada ALAT, yaitu alat bantu agar perjalanan bisa lebih dimudahkan saat menghadapi tantangan2 yang paling ekstrim sekalipun.
4.        Percaya pada TEMAN, yaitu dalam konteks team-work, saling membantu demi keberhasilan bersama (our success).
Urutan standarisasi yang dibakukan, tidak boleh dirubah, sebab sekali tertukar, dijamin akan kacau balau. Seperti jika percaya pada Teman menjadi no 3 , dan alat jadi no 4 , maka dia pasti mengandalkan teman untuk menyiapkan peralatan. Demikian pula jika alat menjadi no 2, dan diri sendiri menjadi no 3, maka orang tadi tidak akan percaya diri, jika kehilangan alat.

Sekarang,
Mari kita lihat para petinggi dan tokoh dinegeri ini, yang konon sebagai pemilik dari negeri ini, dengan urutan rukun kepercayaan serta konsekwensinya, sbb :
1.        Percaya pada TEMAN, alias punya koneksi orang pusat apa engga? yang bakalan membantu menaikan rating. Di negeri ini seringkali yang naik menjadi pimpinan, bukan mereka yang berprestasi (achievement oriented), namun mereka yang punya kedekatan alias afiliation oriented.
2.        Percaya pada ALAT, alias sangat menggantung pada kepemilikan alat yang dipunyai. Yang paling kuat tentu saja harta dan jabatan. Punya koneksi dan punya duit, itulah yang paling penting untuk menggapai kekuasaan.
3.        Percaya pada DIRI SENDIRI, ini siapah saya?, asal kamu padea tau, saya ini temennya panggede itu, sohibnya orang beken itu. Saya yang punya pulau, saya yang menguasai saham, saya yang punya bla bla bla bla bla, Diri sendiri yang dibangun oleh azas “kepemilikan”.
4.        Percaya pada TUHAN YME, kalau semua kepercayaan 1 – 3 dibantai oleh KPK atau polisi yang anti maling, umumnya mereka baru mengadakan pendekatan kepercayaan yang ke 4, yaitu membangun image orang religius. Mereka duduk di kursi pesakitan, namun tak nampak kaya penjahat, karena tiba tiba saja memakai baju takwa, berkopiah, atau bertopi haji yang serba putih. Yang perempuan tiba-tiba saja berjilbab.

Saya hanya warisan tempo dulu, nilai dan belief system juga warisan dari jaman dulu. Namun sekarang ternyata sang rukun iman sudah jauh berubah urutan dan prioritasnya serba TERBALIK !. Akhirnya cuma bisa mengelus dada, karena kita mendadak seolah-olah menjadi orang yang anti teori, anti kecenderungan masyarakat yang serba hedonis serta mendewakan jabatan. Negeri merah putih menjadi antah berantah karena sejarah hanya dijadikan sebuah cover yang berisi sebuah kepalsuan & kemunafikan.
Dimana Aktivis itu?? 
Sampai sekarang Aktivis hanya bisa berlomba & berbondong - bondong untuk memperebutkan kedudukan/ kekuasaan, itulah budaya yang tidak bisa kita pungkiri. Distulah mafia tumbuh subur. Tapi biarlah, karena setidaknya, kita tidak berahir di gedung KPK karena setidaknya kita tidak menjadi badut badut elite.

Kategori : Wisata

Kategori : Budaya

Kategori : Industri

Kategori : Musik

Kategori : Opini

Kategori : Pendidikan

Kategori : Pertanian

Kategori : Politik

Kategori : Teknologi

Kategori : Berita

Kategori : Film

Kategori : Kesehatan

Kategori : Olahraga

Kategori : Pemerintahan

Kategori : Perdagangan

Kategori : Peternakan

Kategori : Sosial

Kategori : Artis