Cari Berita/Artikel :

Petani dan Kebijakan; Kritik Sosial Fenomena Nusantara

Oleh : Zezen El Equilibrium
Sejarah manusia semenjak zaman Pajajaran sampai Brawijaya kaum alit terjajah dari tanahnya. Kaum alit digambarkan dalam rona kehidupan para petani desa yang hanya memliki tanah tak seberapa maupun para petani penggarap yang hanya menaruhkan nasibnya pada kebaikan si pemilik tanah yang hendak meminjamkan tanahnya untuk ia garap. Para petani semacam inilah tergambarkan dalam sejarah kehidupan manusia selalu menjadi babu di tanah sendiri atas mereka yang memiliki akses lebih semacam kedudukan, pangkat, jabatan dan lain-lain dibiarkan bergerilya merdeka di tanah ini. Mereka bergembira dengan kemerdekaannya meskipun memiliki sejarah panjang sebagai kaum pendatang maupun sejatinya tamu dari negeri-negeri jauh sana. Berbekalkan pada kedudukan dan jabatan serta modal material lainnya memposisikan diri sebagai kaum menak kerap kali menjadi aktor dalam mengolah keadaan- keadaan dimana keuntungan pribadi dijadikan sebagai tujuan agar keberpihakkan melekat padanya. Tetapi berbeda dari para petani yang menjadi sorotan sebagai penduduk pribumi sekaligus penduduk mayoritas yang memiliki tingkat mata pencahariannya sebagai petani dibiarkan membeli produk-produk industri dengan harga yang tinggi melangit, namun tak sebanding dari hasil panen yang didapatkan dikarenakan seringnya terjadi loncatan harga yang cukup signifikan.
Bahkan lebih parahnya manakala terjadi persoalan pembebasan pun tak mendapat perhitungan dari pemerintah. Pemerintah disini disandingkan kepada para pemilik kewenangan yang telah mendapatkan kepercayaan publik atas setiap diri mereka sebagai jiwa yang bebas, dengan penuh kesadaran menyerahkan kebebasannya untuk diwakilkan semata sebagai bentuk dari penyerahan diri untuk mendapatkan kenyamanan atas pengelolaan dari mereka. Sejatinya mereka mendapatkan perlakuan istimewa karena telah memberikan kepercayaan lebih untuk diberikan peraturan agar terciptanya perdamaian abadi. Hal ini berbeda dalam realitas pemerintah dalam memberikan pelayanan publik atas diri mereka yang merdeka, seringnya dibiarkan melanglang buana dalam memperoleh kemerdekaan sendiri. Jikalau demikian adanya posisi dari pemilik kuasa pun mulai diragukan keberadaannya sebagai agen yang mampu merubah keadaan mencapai perdamaian.
Baru-baru ini informasi dari menteri Puan Maharani (Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan) yang menghakimi para petani atas keadaan yang menimpa para petani dengan ungkapan kurang seronok atas penyikapan dirinya sebagai orang yang mendapatkan amanah. Ungkapan yang dirasa kurang seronoknya tersebut terdetaksi menyampaikan agar para petani lebih irit dalam mengelola kekayaan mereka. Sebuah kata bijak dari seorang pemimpin dalam menyampaikan pengantarnya menuju perdamaian, namun tak sebanding dengan gaya hidup yang sering dipamerkan kepada publik. Mestinya ungkapan itu menjadi cambuk diri bagi kawanan pemangku kebijakkan dalam menghayati kehidupannya agar memberikan teladan baik kepada warganya.
Idiologi pembebasan serta perjuangan mestinya tetap lekat erat tak surut dalam benak para pemangku kebijakkan pasca duduk dikursi jabatan. Perjuangan harus terus ditegakkan sebagai bentuk dari keberpihakkan kepada kaum lemah. Keadaan yang menjadikan kaum lemah menaruh kepercayaan itupun jua dilandaskan pada dasar bahwa adanya keyakinan untuk memperjuangkan hak-hak kaum alit. Jadi melupakan janji perjuangan merupakan pengkhianatan besar kepada bangsa, yang tak beda dengan penjajahan atas bangsanya sendiri. Pengkhianatan itu kini telah merasuk kedalam tubuh sistem kewenangan dinegeri ini. Marakkan sandiwara politik yang dimainkan oleh peran seperti Sudirman Said melibatkan aktor lama Setia Novanto serta beberapa aktor lainnya dalam skandal “papa minta saham” berujung pada perpanjangan kontrak Freeport yang telah dikenal merugikan bangsa. Begitupun akhir-akhirnya terus bermunculan berbagai tragedi Bom Sarinah, Gafatar serta ISIS yang hanya melangitkan nama-nama serta instansi-instansi yang bermain didalamnya- yang pasti semua itu telah ada yang mengaturnya dengan dalih perdamaian.
Dimana letak peran para aktivis yang menyuarakan perjuangan kaum buruh dan kaum tani? Semuanya berujung pada kursi meja makan. Beradu taktik dan dialektika dimeja perundingan,  hasil yang didapatkan pun jauh dari kata memperjuangan kaum alit. Para petani tetap pada kepribadiannya dengan pemahaman lokalnya, mereka bercocok tanam, membeli produk industri, berhutang sana-sini karena tak cukup dari hasil panen sebelumnya kemudian saat panen tiba, memeras otak untuk bisa menaruh bekal untuk beberapa minggu kedepan. Sungguh tragis nasib dari keadaan kaum tani ini. Berbekal pada beberapa meter tanah warisan turun temurun serta pengetahuan minim dari tradisi orang-orang tua namun dalam kehidupan sehari-harinya harus menerima berbagai propaganda industri tanpa diberikan pengawalan pemahaman. Tak ada filter dalam penyerapan pemahaman, bahkan pada saat pendidikan idealnya menjadi dapurnya penggodoggan (Red. Candradimuka) untuk menciptakan kualitas anak didiknya, namun ironisnya banyak diantara para pendidiknya yang terbuai dengan janji manis peraturan, memperbanyak keformal-an hingga melupakan tupoksi dari tugasnya dari seorang pendidik. Maka, jangan heran manakala pendidikanpun masih bermuka masam dalam menciptakan generasi berkelanjutan yang berpemahaman luhur.
Kesejahtraan umum yang telah tertuang dalam catatan suci cita-cita para pelopor kemerdekaan, pun terus tercederai. Dengan masih ditemukannya kejanggalan-kejanggalan sistemik yang dapat memperlambat proses perkembangan. Ketidak konsistenan dalam penerapan sebuah regulasi, penghayatan diri sebagai bangsa yang bebas dan merdeka yang mesti menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pun turut tersandra dikarenakan munculnya kepentingan golongan. Maka, cita-cita besar yang tertuang mesti terus dijaga serta dikembangkan, benteng kuat dari para idiolog yang benar-benar menjaga idiologinya demi kemenangan jangka panjang bukan luntur manakala telah duduk dimeja makan maupun pasca memakai dasi serta jas kebesarannya. Dengan demikian, pembenahan pun akan tercapai dengan tidak mementingkan kepentingan pribadi serta golongan, dengan mengeratkan kekuatan, menjaga dan memberikan pengarahan demi cita-cita besar untuk sama-sama menganggap serta mengangkat harkat martabat bangsa mencapai kesejahtraan bersama.