Terminologi merdeka dalam kamus
rujukan standarisasi nasional[1]
diterjemahkan dengan kata ‘bebas’
baik dari perhambaan, penjajahan, dsb; berdiri
sendiri: manakala disandingkan dengan proklamasi
17 Agustus 1945 , tidak terkena atau lepas dari tuntutan: dari
tuntutan penjara seumur hidup; tidak terikat, tidak bergantung kepada
orang atau pihak tertentu; leluasa. Ber-rentet-an arti dari kata merdeka seolah
memberikan informasi yang cukup layak dicerna dan dinikmati keberadaannya dalam
memori ingatan serta tindakan. Kata lainpun muncul sebagai jelmaan dari bahasa asing diistilahkan dengan freedom[2]
menandakan makna yang sama.
Salah satu dari penjelmaan mekna
merdeka ialah bebas. Bebas merupakan kata yang dekat untuk menyandingkan kata
lain dari makna merdeka. Bentuk penyaluran kata bebas bisa dipakai untuk
memberikan jalan aplikatifnya dengan ungkapan kebebasan menyampaikan pendapat
dimuka umum-publik. Prilaku aplikatif dari bebas ini menjadi senjata ampuh
pasca kemerdekaan republik Indonesia sehingga tak ayal bermunculan dalil untuk
mengsangkralkan tindakan eksploitatif penyaluran pendapat melalui berbagai
media. Bukan hanya itu, kata bebas disinipun
menjadi karakter khusus yang mesti adanya dalam ruang lingkup manusia yang
merdeka, terlebih dalam nuansa pemerintahan yang menganut sisitem demokrasi.
Namun meski demikian karakteristik dari merdeka bukan menjadi senjata
satu-satunya dalam mengeksplorasikan sikap maupun tindakan yang bebas.
Kebebasan menjadi momok yang dapat saja disalah artikan manakala dibiarkan
begitu saja pemahamannya. Tentu mesti ada bataasan tertentu yang menghentikan
gerak mekna bebas, maka perlu diperhatikan pula dalam kebebasan terdapat
batasan-batasan.
Menyampaikan pendapat dimuka umum
menjadi sorotan dalam mengungkap aplikatif dari makna merdeka yang
diterjemahkan dengan kata bebas. Ruang publik menjadi hak setiap warga yang
sifatnya dimiliki oleh setiap orang, maka manakala menyampaikan pendapat
diruang publik meski bukan semena-mena mengganggu yang lain. Penyampaian
pendapatnya diberikan kebebasan sejauh masih dalam tataran kebebasan yang tidak
mengganggu aktifitas dari penikmat lain, maka manakala sudah mengerucut pada
aktifitas yang mengganggu tentu kebebasan itupun menjadi batasan yang berlaku
dari kemerdekaan. Kata kuncinya terletak pada batasan dari merdeka yang diterjemahkan
dengan istilah bebas yakni bebas disini yang memiliki batasan. Batasan tersebut
bukan berarti tak mendasar, terlebih bagi negeri ini yang berpenduduk plural,
kebebasan yang bertanggungjawab memang menjadi kewajiban bagi kita untuk
diperhatikan sebagai sikap menjaga perdamaian.
Lebih jauh dari aplikatif kata
merdeka, bahwa merdeka menjadi jelmaan hak setiap pribadi warga negara republik
Indonesia semenjak lepas penguasaan Jepang
dimasa kolonial pada tanggal 17 Agustus 1945 silam. Seyogyanya tanah air
menjadi milik bersama setiap warga negara, dimana tanah, air, udara serta
kekayaan lain dari bumi Indonesia menjadi kekayaan bersama yang kemudian
diamanatkan kepada negara untuk memanfaatkannya demi terciptanya kesejahtraan
bersama-rakyat yang menjadi warga negara. Amanat ini telah terukir indah dalam
barisan aturan suci yang telah tercatat rapih dalam Undang-undang 1945. Menjadi
tanggungjawab bersama mengobarkan amanat besar tersebut dimana negara sebagai
lembaga institusi yang telah merangkul segenap warganya untuk tunduk dalam
aturan tersebut. Maka dengan mengakui keberadaan warga sebagai bagian dari
negara yang memiliki tanggungjawab untuk bisa mengoptimalkan pemanfaatan
kekayaan negara sebagai bentuk dari pengaplikasian membentuk kesejahtraan
warganya menjadi sebuah keharusan. Berbagai aturanpun dibuatnya untuk
menyematkan kemerdekaan milik bersama, meneladani ajaran para pendahulu dimana
masa kolonial telah merugikan berbagai unsur masyarakat serta institusi.
Indonesia penduduk mayoritas
bermatapencaharian sebagai petani didukung dengan luas daratan menghampar dari
ujung barat sabang sampai ujung timur merouke dengan kesuburan tanah yang tidak
diragukan. Kesuburan tanahnya menyilaukan bangsa asing karena mampu memunculkan
beragam hasil bumi yang berlimpah. Kekayaan itu yang dimasa kolonial menjadi
daya tarik utama yang tentunya perlu disadari dengan penuh kesadaran bahwa
tepat adanya Indonesia sebagai negeri agraria. Beragam tanaman tumbuh subur
yang mestinya dapat mensejahtrakan kehidupan warganya, memberikan aura positif
demi terciptanya manusia berperadaban. Hanya kekuatan itu hilang sebagai mana
dirasakan sejak awal kemerdekaan hingga kini, mayoritas petani dengan
kepemilikan lahan nan luaspun masih belum terhitung dalam kategori sejahtra skala
mayoritas, ditemukannya diberbagai penjuru aroma kemiskinan mendera. Lebih
tepatnya dunia internasional masih menempatkan Indonesia sebagai negara
miskin-berkembang. Tentu ini memberikan dampak negatif yang akut bagi kesadaran
bangsa. Terlepas dari merdeka yang dipahami sebagai mana mestinya, tetapi
amanat undang-undang dasar sangat memberikan ruang bagi warganya untuk sampai
pada panggung kesejahtraan dalam kategori internsional.
Maka mengamini kemerdekaan Indonesia yang telah
berumur ini, menjadi catatan penting bahwa keberadaan negara belum senyatanya
memberikan ketenangan bagi warganya. Asumsi ini dilandaskan pada berbagai
fenomena yang kian hari membanjiri media ditengah-tengah kehidupan kita bahwa
beragam potret kemiskinan terus terpampang dalam gambar berjalan, mulai dari
kelaparan yang mendera warganya, di sektor kesehatan berbagai penyakit mendera serta
penanganannya yang kurang kondusif, lemahnya tingkat pendidikan dalam kancah
nasional jika dibandingkan kenegeri tetangga, sekalipun sejarahnya pernah ngaji dinegeri ini serta banyak lagi potret
lain dari jelmaan kemiskinan yang mendera negeri ini. Semua itu bukan lantas
karena rentetan sejarah panjang negeri ini yang dijadikan sandaran sebagai patokan
bahwa mental yang diterapkan dimasa kolonial masih mendarah daging dalam memori
serta tindakan, tetapi jauh dari itu, zaman terus berubah generasi silih
berganti mestinya peperangan mental kolonial telah hilang berjalannya perubahan
generasi. Maka terdapat kesalahan dalam penyaluran kesadaran ini dimana tanah
serta kekayaan ini milik semua warga negara.