Cari Berita/Artikel :

ABDI TANAH SENDIRI: REFLEKSI PENDEKATAN AGAMA

TAMU adalah RAJA, tetapi RAJA yang BAGAIMANA, jikalau demikian adanya TUAN RUMAH adalah ABDI untuk RAJA yang BAGAIMANA

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

 “Tuan rumah memiliki hak untuk menerima maupun menolak sesuatu yang berhubungan dengannya seperti yang berkaitan dengan menerima atau menolak tamu yang datang ketempatnya”. Haknya berkaitan dengan prinsip dasar bahwa ajaran moral bertamu merupakan kebaikan, senyatanya itu menjadi suatu keharusan. Tetapi menakala telah menyudutkan tuan rumah, maka hak bagi tuan rumah untuk menolak atau bahkan mengusirnya. Dengan kata lain, tuan rumah memiliki hak untuk memperoleh kenyamanan dari tamunya. Segala hal apapun manakala telah dimunculkan haknya tentu akan disandingkan dengan kewajibannya. Maka bermula dari pandangan dasar ini, tuan rumah memiliki kewajiban untuk menyegerakan hidangan seadanya manakala menerima tamu, menjaga kehormatan dan kenyamanan bagi si tamunya. Bahkan ajaran agama mengajarkan kedudukan dari kewajiban menyegerakan sesuatu dikumpulkan kedalam beberapa hal diantaranya bersegeralah dalam menghormati tamu, mengawinkan anak perempuannya serta dalam menguburkan mayit.
Namun penulis hanya ingin menyoroti satu bagian dari ajaran agama ini, yakni menyegerakan menghormati tamu. Bagi penulis ajaran tersebut telah mendarah daging sebagai jelmaan dari hasil ajaran lingkungan dan pengabdian diri terhadap ajaran tersebut karena kebetulan telah menjadi bagian transenden dengan keyakinan dasar yang telah terbangun maka tuan rumahpun memiliki aturan main dalam proses menjalankan kehidupan dikerajaannya-red: rumah. Yakni melekatkan kepada si tamu untuk mengikuti aturan main dari situan rumah, anggap sebagai kewajiban bagi si tamu.
Jikalau tatanan kehidupan tuan rumah dalam lingkungan yang memiliki ajaran yang kental dengan ketaatan beragama, maka menjadi kewajiban bagi sitamu untuk mengikuti aturan main dari si tuan rumah. Kenapa hal demikian meski diamini bagi si tamu? Sejatinya semua itu sebagai penghormatan kepada situan rumah yang telah memainkan perannya memegang teguh aturan main dari keyakinan dasarnya, pun juga sebagai bagian yang tidak terjewantahkan dari penghayatannya sebagai umat yang diberikan kewajiban dari ajaran agamanya- menghargai diri sendiri serta menghargai orang lain. Alasan kedua Kenapa mesti mengamininya karena hubungan sosial yang terjadi dalam lingkungannya mengharuskan untuk taat, maka dengan mengikuti aturan main tersebut menjadikan dirinya dan situan rumah dapat diterima dilingkungannya.
Lebih jauh lagi kegiatan-aktivitas beragama dapat mendekatkan hubungan sosial agar dirinya dapat diterima dilingkungannya. Misalnya mereka yang menyadari dengan penuh kesadaran manakala datang ke suatu negara yang memili ajaran mayoritas semisal muslim bagi dirinya sebagai orang asing, mau tidak mau mesti mengikuti aturan main dari tuan rumah, dengan menceburkan diri bergumul dengan umat mayoritas melalui ajaran yang diyakininya, maka tak jarang kita temukan adanya mu’alaf di beberapa daerah. Semua itu bisa saja sebagai jalan untuk dapat memposisikan diri agar dapat diterima ditengah-tengah lingkungan religius. Menurutku ini rasional, kenapa karena agama tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi semata, salah satunya pendekatan filosofis terhadap agama bahwa agama telah diakui memiliki tiga dimensi, diantaranya terdapat dimensi personal, budaya dan ultimate.  Adapun yang dimaksud dimensi personal mungkin bagi mereka yang menganggap bahwa kegiatan-aktifitas beragama merupakan bagian dari kewajiban dirinya dengan Tuhannya, jadi tak ada aturan main yang dapat mengikat dirinya untuk berlaku taat atau tidaknya menghamba pada-Nya seperti aturan lingkungan,  jadi si tamu memiliki haknya manakala tidak ingin mengekspresikan kegiatan beragamanya manakala bertamu. Semua itu dibenarkan adanya. Adapun penjabaran dari dimensi budaya salah satu penjabarannya terdapat dalam aktifitas ramainya mu’alaf ditahun-tahun pertama kehadiran orang asing yang kemudian setelah mendapatkan posisinya ia akan kembali pada ajaran lamanya, hal ini senada dengan fungsi dari membaurnya agama yang memiliki dimensi budaya pun juga menjadi jelmaan dari fungsi sosial. Kemudian Ninian Smart seorang fenomenolog dan sekaligus pula sebagai filsuf agama menjelaskan dalam agama terdapat lebih dari tiga dimensi bahkan tujuh dimensi dalam agama, yakni dimensi mistik;naratif, ritual, sosial, etis, doktrinal, pengalaman dan dimensi meteriil.[1]
            Berbicara agama dengan menggunakan pendekatan filosofis merupakan pilihan bagi segelintir orang yang memiliki ketertarikan menyelami hasanah agama. Agama menjadi bagian yang dapat saja disandingkan dengan filsafat meski menjabarkannya memiliki keanehan tersendiri. Kawanku pernah berucap bahwa mempelajari agama diawali dengan keimanan serta penyerahan diri kepada-Nya. Berbeda dengan filsafat, aktifitasnya dimulai dengan meragukan segala sesuatu dengan mempertanyakan kembali. Jelas keduanya memiliki perbedaan yang lengkap dan menyandarkan kedua hal yang berbeda bagaikan menyatukan kucing dengan anjing dalam sejarahnya memiliki tingkat kesulitan yang tidak diragukan. Namun meskipun demikian, bukan berarti perbandingan yang jauh berbeda tersebut tidak bisa disandingkan, buktinya kadangkala kita menemukan adanya hubungan yang harmonis dari kucing dan anjing, maka tentu tidak ada keraguan bagi agama dan filsafat pun dapat disandingkan.
            Aktifitas dari filsafat adalah belajar bagaimana berfikir[2]- yakni suatu proses yang melibatkan produksi bagaimana menghasilkan alasan dan argumen. Produksi alasan dan argumen tersebut menandakan bahwa sedang melakukan aktifitas berfikir tentang apa yang dikatakan atau apa yang diyakini atau bagaimana memiliki pandangan serta asumsi dan mempertahankan pandangan tersebut agar mampu diterima- sedang berusaha untuk menemukan cara untuk mendukung dan membenarkan pernyataan-pernyataan kita. Dengan menghasilkan-memproduksi argumen bukan berarti memaksakan kehendak agar hasil argumennya dapat diterima tentu itu tidak bisa dibenarkan dalam aktifitas berfikir ini, tetapi yang dimaksudkan dengan pendekatan filsafat dengan mengembalikan posisi filsafat sebagai mana mestinya yakni kekhasan dari kegiatannya ialah dengan meletakan serta meragukan kebenaran kebenaran yang ada. Dengan demikian berfilsafat dapat memaksa kita untuk kembali memutar memori kebenaran yang telah diakui dan diimani, mempertanyakan kembali kebenaran serta dasar dari sikap pembenaran pada pegangan yang telah terbangun. Dengan demikian, keimananpun akan teruji dengan gelombang kegelisahan yang menghantam melalui pertanyaan-pertanyaan. Bukankah untuk mengetahui tingkat keimanan dapat melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, sudahkah kita berlaku sesuai dengan ajaran agama yang dikehendaki oleh agama yang kita yakini. Manakala lautan keraguan atas penghayatan kita terhadap agama telah terbuka bukankah akan semakin menambah tingkat keimanan terhadap ajaran-Nya dengan berlaku sesuai dengan ajaran-Nya. Sama halnya dengan melakukan rutinitas ibadah solat bukan karena semata untuk menghilangkan- menggugurkan kewajiban kepada-Nya tetapi senyatanya karena memang diri kita merasa butuh untuk melaksanakan kewajiban tersebut.


[1] Peter Connolly. Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LKiS. 2002 ). Hlm: 9
[2] Ibid. Hlm: 159