Oleh : Rahmat Nuriyansyah
Dulu, ketika buku tentang psikologi eksistensialis humanistik pertama dibaca. Ada kalimat yang menarik, yaitu setiap insan akan dikenai dosa “eksistensialis”. Sebuah dosa penyesalan dan perasaan bersalah / self guilty, ketika tidak mampu menjawab rangkaian pertanyaan : …. siapa, darimana dan hendak kemana dirimu Pertanyaan yang harus dijawab. Sejak para nenek moyang dijaman pra-sejarah, sampai detik ini dijaman super modern, pertanyaan eksistensialis tadi terus bergema disetiap insan yang bernama manusia. Sementara hidup dibatasi oleh waktu.
Jawaban demi jawaban diberikan pada setiap jamannya. Sejak jaman arsitoteles, lalu descartes yang berpidato aku ada karena aku berfikir (Cogito ergo sum). Bahkan yang paling nyeleneh seperti dari Albert Camus, aku ada karena aku memberontak. Demikian pula dengan wejangan para filsuf yang lain, layaknya nabi nabi baru dijamannya masing masing.
Lalu sejumlah ilmu (science) disusun berdasarkan pengetahuan yang relevan knowledge), demikian pula dengan rekayasa aplikasinya (teknologi). Namun intinya sama saja, yaitu untuk pemahaman tentang diri, dan segala sesuatu fenomena yang terjadi disekitar kita. Ilmu berkembang dengan sekian banyak pencabangan, menuai pra spesialis untuk memperdalam apa apa yang belum diketahuinya.
Fisika sebagai salah satu sokoguru utama filsafat ilmu tak pernah puas. Besaran newton tak memberi jawaban memuaskan. Dikembangkan ke humum relatifitas pada astronomi, tak pula menenangkan hati. Lalu diperdalam ke lekuk yang paling kecil. Atom dari John Dalton dikupas oleh Rutherford dan Planck cs. Fisika quantum semakin menekuk ke tingkat sub partikel atomik, berujung pada partikel quarks, dengan ikatan-ikatan gluon. Dentang kematian muncul dari Schrodinger, bahwa atom alias materi keberadaannya relatif, antara ada dan tiada… nah lho !
Dulu, ketika buku tentang psikologi eksistensialis humanistik pertama dibaca. Ada kalimat yang menarik, yaitu setiap insan akan dikenai dosa “eksistensialis”. Sebuah dosa penyesalan dan perasaan bersalah / self guilty, ketika tidak mampu menjawab rangkaian pertanyaan : …. siapa, darimana dan hendak kemana dirimu Pertanyaan yang harus dijawab. Sejak para nenek moyang dijaman pra-sejarah, sampai detik ini dijaman super modern, pertanyaan eksistensialis tadi terus bergema disetiap insan yang bernama manusia. Sementara hidup dibatasi oleh waktu.
Jawaban demi jawaban diberikan pada setiap jamannya. Sejak jaman arsitoteles, lalu descartes yang berpidato aku ada karena aku berfikir (Cogito ergo sum). Bahkan yang paling nyeleneh seperti dari Albert Camus, aku ada karena aku memberontak. Demikian pula dengan wejangan para filsuf yang lain, layaknya nabi nabi baru dijamannya masing masing.
Lalu sejumlah ilmu (science) disusun berdasarkan pengetahuan yang relevan knowledge), demikian pula dengan rekayasa aplikasinya (teknologi). Namun intinya sama saja, yaitu untuk pemahaman tentang diri, dan segala sesuatu fenomena yang terjadi disekitar kita. Ilmu berkembang dengan sekian banyak pencabangan, menuai pra spesialis untuk memperdalam apa apa yang belum diketahuinya.
Fisika sebagai salah satu sokoguru utama filsafat ilmu tak pernah puas. Besaran newton tak memberi jawaban memuaskan. Dikembangkan ke humum relatifitas pada astronomi, tak pula menenangkan hati. Lalu diperdalam ke lekuk yang paling kecil. Atom dari John Dalton dikupas oleh Rutherford dan Planck cs. Fisika quantum semakin menekuk ke tingkat sub partikel atomik, berujung pada partikel quarks, dengan ikatan-ikatan gluon. Dentang kematian muncul dari Schrodinger, bahwa atom alias materi keberadaannya relatif, antara ada dan tiada… nah lho !
Setiap titik dalam ruang waktu, jangan dilihat sebagai “point-particle”
karena ujungnya akan berupa dimensi 0. Sebaliknya mesti dicoba dari dimensi ke
1, yaitu berupa benang alias dawai (punya panjang 10^-33 cm), sehingga
memunculkan fisika teori jenis baru, menandai kelahiran teori super-string.
Konsekwensi logisnya, alam semesta tidak bisa berdimensi 4, yaitu panjang lebar
tinggi dan waktu, yang membentuk konsep ruang-waktu (space time continuum)
namun setidaknya harus berdimensi 10 agar stabil.
Tetapi kan dawai bisa bergetar, kaya senar gitas membentuk “world
sheet”. Lagipula benang-benang ini bisa pula dianyam membentuk lembaran. Oh
kalau begitu, pengembangan dari teori superstring adalah teori m-brane
(membrane) alias mother brane. Induk dari semua keberadaan di alam semesta ini.
Sehingga beberapa ahli menyatakan, bahwa alam semesta ini sesungguhnya adalah
jaring-jaring interferensi kosmik belaka, yang menyatukan seluruh eksisten
dalam sebuah mega-domain.
Teori m-brane dan yang sejenisnya seperti super-gravity, niscaya
membutuhkan dimensi ke 11, alias tambah 1 dimensi lagi. Tapi sebentar … apapun
itu akan melahirkan dualisme alias membrane berdua muka (sisi). Sebuah
keseimbangan simetris, atas – bawah, kiri – kanan , siang – malam, benar -
salah, baik – buruk, laki – perempuan, dll. Untuk itu harus ada yang
menerangkannya dalam sebuah ke “satu” an yang utuh. Layaknya rumus integral,
kebalikan dari diferensial. Cumrun Vafa, fisikawan asal Iran yeng bermigrasi ke
Amerika mendorong konsep baru. Dibutuhkan dimensi ke 12, untuk mengetengahkan f
– teori (Father theory), yang mampu menjawab tentang fenomena dualisme pada
m-brane dan superstring …
Pening ah kepala. Untuk memahami diri, serta memahami realitas dan
fenomena di alam semesta tidak semudah yang dikira. Berkembang dan bercabangnya
ke ilmu an, hanya membentuk para spesialis. Menjadi relatif tidak mudah untuk
menjadi seorang generalis, padahal pemahaman tentang seluruh realitas hanya
mampu dijawab jika dilihat secara holistik – sistemik – organismik (menyeluruh
– utuh – tumbuh).
Filsuf dijaman dulu, lebih mudah menjadi generalis, mulai dari Ibnu
Sina sampai Leonardo da Vinci dan Galileo Galilei. Karena perkembangan ilmu
belum seperti saat ini.
Dari gambar …. bisa dilihat, korelasi antar disiplin sokoguru filsafat ilmu, yaitu fisika, biologi dan psikologi. Yang semula sederhana lalu berkembang kearah kompleksitas yang tak terbayangkan. Simplisitas di dunia materi (4 dimensi terbawah, alias langit ke 1 atau lower dimension), mengarah semakin kompleks saat dinaikan ke arah higher dimension.
Dari gambar …. bisa dilihat, korelasi antar disiplin sokoguru filsafat ilmu, yaitu fisika, biologi dan psikologi. Yang semula sederhana lalu berkembang kearah kompleksitas yang tak terbayangkan. Simplisitas di dunia materi (4 dimensi terbawah, alias langit ke 1 atau lower dimension), mengarah semakin kompleks saat dinaikan ke arah higher dimension.
Pada biologi ada batu sandungan “blue-print” alias sempritan kue, yang
ada ditataran dimensi ke 5 s/d 10 pada fisika superstring. Dalam psikologi
harus bergeser ke arah psikologi kognitif dan pendekatan kesadaran berupa
aliran energi psikis. Berada pada tataran energi yang berfrekwensi sangat
rendah (Extra Low Freq), sehingga bagaimana sebuah kecerdasan bisa
dikolektifkan antar sesama species, seperti yang diterangkan oleh Rupert
Sheldrake dalam Morphogenic Resonance nya. Seperti juga The Field dari Lyne Mc
Tagart, yang juga bicara tentang interferensi kosmik ini.
Sementara dalam kosmologi (fisika macro) ternyata teori Big Bang dari
George Gamow, harus di koreksi oleh Allan Guth cs, dengan teori inflasinya.
Sebuah pendekatan sehingga keberadaan langit (false vacuum) dan bumi / alam
semesta materi (true vacuum) menjadi terjelaskan.
Stop, apapun pendekatan keilmuan itu, akhirnya akan membuat pusing
kepala. Spesialis seperti penggali
sumur, yang semakin lama semakin dalam, lalu mendongak keatas, seraya melihat
langit hanya sebesar uang benggol. Dari dasar sumur, dia hanya mampu melihat 10
bintang yang nampak, padahal ada triliunan bintang dan galaksi di alam semesta
ini.
Ilmu, apapun itu, hanya alat, tak kurang dan tak lebih. Seperti joran
untuk memancing ikan. Yang hanya diakui sebagai joran, apabila menghasilkan
ikan yang mampu dikailnya sebagai output. Namun ikan, tak ada gunanya jika
tidak bisa dimakan karena beracun. Bahkan ikan yang tak beracun, juga tidak
berguna jika tak dimasak untuk jadi lauk panganan. Dan seberapa hebat, bergizi
dan lezat panganan, menjadi tak berarti apa apa, ketika selera dan kemauan
untuk memakannya tak ada.
Persis seperti apa yang terjadi saat ini.
Ujung dari ilmu adalah filsafat ilmu, yang puncaknya adalah etika. Sedang
ujung dari agama adalah ahlak, senantiasa berbuat baik dan bermanfaat positip
bagi diri dan sesamanya.
Namun ilmu banyak yang hanya jadi untaian gelar dibelakang dan didepan
nama. Seperti juga agama, yang hanya jadi sekedar sebutan gelar Ust, KH, Hjh ….
jauh dari etika dan ahlak.
Jika
ini yang terjadi...? Maka sidang dari para ‘yang mulia” digedung Senayan. Hanya
menjadi sidang etika yang sama sekali tak etis. Hanya sekedar sidang ahlak yang
bisa ditransaksikan. Bak ilmu yang kehilangan makna. Bak joran yang sekedar
jadi hiasan dinding. Padahal dosa eksistensialis, akan tetap mengikuti. Bahkan
sampai ketepi liang lahat kelak.