Jika menggunakan ilmu
perbandingan, dapat dikatakan bahwa Candi Prambanan dan Candi Borobudur
sebanding dengan “Masjidil Haram”. Logikanya seperti ini, kalau ada “Masjidil
Haram” pasti ada juga masjid-masjid kecil yang lain (musholah). Bukan tidak
mungkin ketika ada tempat ibadah Hindu-Budha sebesar Candi Prambanan dan Candi
Borobudur, pasti dulu juga ada tempat ibadah kecil yang lain dan tersebar
diseluruh bumi Nusantara ini. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang besar
ada ketika sesuatu yang kecil itu ada terlebih dahulu.
Hal ini tentu dapat
kita bayangkan bahwa pada zaman dahulu umat Hindu-Budha adalah golongan
Mayoritas. Kalau zaman dahulu umat Hindu-Budha sangat mendominasi di bumi
Nusantara ini, lalu bagaimana bisa Walisongo dapat membalikkan kondisi dari
zaman Hindu-Budha ke zaman Islam?
Kalau kita belajar
sejarah, tentu kita semakin terheran-heran dengan Walisongo. Dalam catatan
Dinasti Tang, China, pada abad ke 6 M jumlah orang Islam di Nusantara hanya
berkisar ribuan orang dengan klasifikasi hanya orang Arab, Persia, dan China
yang beragama Islam. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama
Islam. Dalam catatan Marco Polo pada tahun 1200-an M juga menyatakan hal yang
sama persisi dengan catatan Dinasti Tang, tidak ada penduduk lokal yang memeluk
agama Islam. Bukti sejarah lainnya adalah catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun
1433 M. Dalam catatannya menyatakan bahwa hanya orang asing yang memeluk agama Islam.
Jadi jika kita perhitungkan dari tiga catatan tersebut, lebih dari 8 abad agama
Islam tidak diterima oleh penduduk pribumi.
Setelah beberapa
tahun sesudah kedatangan Laksaman Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari
daerah Champa (Vietnam). Beberapa dekade selanjutya, setelah Sunan Bonang dan
Sunan Drajat dewasa (anak Sunan Ampel) dan beberapa muridnya juga telah dewasa
(misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo.
Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi Nusantara.
Tetapi anehnya, pada
dua catatan para penjelajah dari Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522
M menyebutkan bahwa bangsa Nusantara mayoritas memeluk agama Islam. Para
sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam waktu kurang dari 50
tahun Walisongo dapat meng-Islamkan banyak manusia Nusantara? Perlu diingatkan,
zaman dahulu tidak ada mobil atau motor, bahkan jalananpun masih belum sehalus
sekarang, dan juga belum ada telepon maupun pesawat terbang. Dilihat dari segi
ruang dan waktu, tingkat kesukaran dakwah Walisongo sangat luar biasa beratnya.
Hingga para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menjelaskan bagaimana
bisa Walisongo melakukan hal tersebut? Membalikkan kondisi dari zaman
Hindu-Budha ke zaman Islam dalam waktu kurang dari 50 tahun. Padahal sudah
terbukti bahwa sudah 800 tahun lebih penduduk pribumi Nusantara tidak ada yang
mau memeluk agama Islam. Dan pada akhirnya, para sejarawan dunia sepakat bahwa
cara pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Walinsongo melalui “kebudayaan”.
Menurut saya pribadi
(mugkin saja dapat disalahkan), pendekatan dakwah melalui kebudayaan hanyalah
sebuah “wadah” dimana didalamnya mengandung sebuah “isi” yang dapat dimaknai
secara lebih mendalam. Hal ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam metode dakwahnya. Bukan tidak mungkin kalau Walisongo meniru persisi apa
yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah untuk mengenalkan
agama Islam. Nabi Muhammad SAW pada waktu itu adalah “satu-satunya” yang
mengenalkan agama Islam di padang pasir sana (Jazirah Arab), begitupun
Walisongo, dapat dikatakan sebagai “satu-satunya” yang mengenalkan agama Islam
di bumi Nusantara ini (Indonesia).
Berkat niat yang
tulus dan penuh kasih sayang, Nabi Muhammad SAW berhasil meluruskan orang-orang
yang tersesat. Dalam kurun waktu 23 tahun Beliau berhasil menyebarluaskan agama
Islam. Bukan tidak mungkin ketika Walisongo menjalankan apa yang Nabi jalankan,
dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun, mayoritas penduduk Nusantara telah memeluk
agama Islam sesuai dengan catatan yang ditulis oleh para penjelajah dari Eropa
tersebut diatas.
Pernah suatu hari
mendengarkan cerita mengenai Walisongo. Ada salah satu murid dari salah satu
anggota Walisongo ragu atas ke_Esaan Allah SWT, kemudian murid tersebut
bertanya “Tuhan kok jumlahnya satu? Apa tuhan tidak repot mengurus orang yang
banyak? Apa ada yang terlewatkan dan tidak diurus nantinya?”. Sunan tersebut
hanya tersenyum ketika ditanya hal tersebut, justru mengajak untuk menonton
pagelaran wayang kulit. Singkat cerita, kanjeng Sunan berkata pada muridnya,
“Bagus ya cerita wayangnya” si murid menjawab dengan semangat tentng lakon
wayang malam itu. Kemudian kanjeng Sunan bertanya, “Bagaimana menurutmu kalau
dalangnya ada dua atau empat orang?”. Si murid langsung menjawab, “Justru lakon
wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang yang lain ambil
wayang yang itu, bisa-bisa jadi tabrakan”. Kanjeng Sunan hanya tersenyum
mendengar jawaban tersebut. Seketika itu murid pun beristighfar dan mengaku
sudah paham konsep ke_Esaan Allah SWT.
Begitulah “isi” dakwah Walisongo dengan “wadah”nya adalah pagelaran wayang
kulit.
Ada juga cerita
mengenai asal usul daerah yang tidak boleh menyembelih sapi, yang melibatkan
Walisongo dalam mengenalkan agama Islam untuk selalu bertoleransi, menghargai
dan menjaga perasaan orang lain. Di atas fikih ada ushul fikih, dan diatasnya lagi
ada ilmu tasawuf. Mengahargai perasaan orang lain lebih diutamakan daripada
sekedar mengucapkan “ini yang halal-ini yang haram, ini yang benar-ini yang salah”.
Kebaikan lebih diutamakan daripada kebenaran.
Sepertiitulah ketika Walisongo
mengenalkan agama Islam. Begitu besar candi Prambanan-Borobudur, begitu besar
pula ajaran dan kebudayaan Hindu-Budha di bumi Nusantara ini. Dengan kebudayaan
sebagai “wadah”, ajaran baru_pun dapat masuk melalui wadah tersebut untuk
menyampaikan “isi”nya. Begitulah ketika Walisongo membalikkan
Prambanan-Borobudur.