Cari Berita/Artikel :

Walisongo, Membalikan Prambanan-Borobudur

Oleh : Agus Wididi
Jika menggunakan ilmu perbandingan, dapat dikatakan bahwa Candi Prambanan dan Candi Borobudur sebanding dengan “Masjidil Haram”. Logikanya seperti ini, kalau ada “Masjidil Haram” pasti ada juga masjid-masjid kecil yang lain (musholah). Bukan tidak mungkin ketika ada tempat ibadah Hindu-Budha sebesar Candi Prambanan dan Candi Borobudur, pasti dulu juga ada tempat ibadah kecil yang lain dan tersebar diseluruh bumi Nusantara ini. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu yang besar ada ketika sesuatu yang kecil itu ada terlebih dahulu.
Hal ini tentu dapat kita bayangkan bahwa pada zaman dahulu umat Hindu-Budha adalah golongan Mayoritas. Kalau zaman dahulu umat Hindu-Budha sangat mendominasi di bumi Nusantara ini, lalu bagaimana bisa Walisongo dapat membalikkan kondisi dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam?
Kalau kita belajar sejarah, tentu kita semakin terheran-heran dengan Walisongo. Dalam catatan Dinasti Tang, China, pada abad ke 6 M jumlah orang Islam di Nusantara hanya berkisar ribuan orang dengan klasifikasi hanya orang Arab, Persia, dan China yang beragama Islam. Para penduduk pribumi tidak ada yang mau memeluk agama Islam. Dalam catatan Marco Polo pada tahun 1200-an M juga menyatakan hal yang sama persisi dengan catatan Dinasti Tang, tidak ada penduduk lokal yang memeluk agama Islam. Bukti sejarah lainnya adalah catatan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1433 M. Dalam catatannya menyatakan bahwa hanya orang asing yang memeluk agama Islam. Jadi jika kita perhitungkan dari tiga catatan tersebut, lebih dari 8 abad agama Islam tidak diterima oleh penduduk pribumi.
Setelah beberapa tahun sesudah kedatangan Laksaman Cheng Ho, rombongan Sunan Ampel datang dari daerah Champa (Vietnam). Beberapa dekade selanjutya, setelah Sunan Bonang dan Sunan Drajat dewasa (anak Sunan Ampel) dan beberapa muridnya juga telah dewasa (misalnya Sunan Giri), maka dibentuklah suatu dewan yang bernama Walisongo. Misi utamanya adalah mengenalkan agama Islam ke penduduk pribumi Nusantara.
Tetapi anehnya, pada dua catatan para penjelajah dari Eropa yang ditulis pada tahun 1515 M dan 1522 M menyebutkan bahwa bangsa Nusantara mayoritas memeluk agama Islam. Para sejarawan dunia hingga kini masih bingung, kenapa dalam waktu kurang dari 50 tahun Walisongo dapat meng-Islamkan banyak manusia Nusantara? Perlu diingatkan, zaman dahulu tidak ada mobil atau motor, bahkan jalananpun masih belum sehalus sekarang, dan juga belum ada telepon maupun pesawat terbang. Dilihat dari segi ruang dan waktu, tingkat kesukaran dakwah Walisongo sangat luar biasa beratnya. Hingga para sejarawan dunia angkat tangan saat disuruh menjelaskan bagaimana bisa Walisongo melakukan hal tersebut? Membalikkan kondisi dari zaman Hindu-Budha ke zaman Islam dalam waktu kurang dari 50 tahun. Padahal sudah terbukti bahwa sudah 800 tahun lebih penduduk pribumi Nusantara tidak ada yang mau memeluk agama Islam. Dan pada akhirnya, para sejarawan dunia sepakat bahwa cara pendekatan dakwah yang dilakukan oleh Walinsongo melalui “kebudayaan”.
Menurut saya pribadi (mugkin saja dapat disalahkan), pendekatan dakwah melalui kebudayaan hanyalah sebuah “wadah” dimana didalamnya mengandung sebuah “isi” yang dapat dimaknai secara lebih mendalam. Hal ini tentu sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam metode dakwahnya. Bukan tidak mungkin kalau Walisongo meniru persisi apa yang sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah untuk mengenalkan agama Islam. Nabi Muhammad SAW pada waktu itu adalah “satu-satunya” yang mengenalkan agama Islam di padang pasir sana (Jazirah Arab), begitupun Walisongo, dapat dikatakan sebagai “satu-satunya” yang mengenalkan agama Islam di bumi Nusantara ini (Indonesia).
Berkat niat yang tulus dan penuh kasih sayang, Nabi Muhammad SAW berhasil meluruskan orang-orang yang tersesat. Dalam kurun waktu 23 tahun Beliau berhasil menyebarluaskan agama Islam. Bukan tidak mungkin ketika Walisongo menjalankan apa yang Nabi jalankan, dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun, mayoritas penduduk Nusantara telah memeluk agama Islam sesuai dengan catatan yang ditulis oleh para penjelajah dari Eropa tersebut diatas.
Pernah suatu hari mendengarkan cerita mengenai Walisongo. Ada salah satu murid dari salah satu anggota Walisongo ragu atas ke_Esaan Allah SWT, kemudian murid tersebut bertanya “Tuhan kok jumlahnya satu? Apa tuhan tidak repot mengurus orang yang banyak? Apa ada yang terlewatkan dan tidak diurus nantinya?”. Sunan tersebut hanya tersenyum ketika ditanya hal tersebut, justru mengajak untuk menonton pagelaran wayang kulit. Singkat cerita, kanjeng Sunan berkata pada muridnya, “Bagus ya cerita wayangnya” si murid menjawab dengan semangat tentng lakon wayang malam itu. Kemudian kanjeng Sunan bertanya, “Bagaimana menurutmu kalau dalangnya ada dua atau empat orang?”. Si murid langsung menjawab, “Justru lakon wayangnya bisa bubar. Dalang satu ambil wayang ini, dalang yang lain ambil wayang yang itu, bisa-bisa jadi tabrakan”. Kanjeng Sunan hanya tersenyum mendengar jawaban tersebut. Seketika itu murid pun beristighfar dan mengaku sudah  paham konsep ke_Esaan Allah SWT. Begitulah “isi” dakwah Walisongo dengan “wadah”nya adalah pagelaran wayang kulit.
Ada juga cerita mengenai asal usul daerah yang tidak boleh menyembelih sapi, yang melibatkan Walisongo dalam mengenalkan agama Islam untuk selalu bertoleransi, menghargai dan menjaga perasaan orang lain. Di atas fikih ada ushul fikih, dan diatasnya lagi ada ilmu tasawuf. Mengahargai perasaan orang lain lebih diutamakan daripada sekedar mengucapkan “ini yang halal-ini yang haram, ini yang benar-ini yang salah”. Kebaikan lebih diutamakan daripada kebenaran.
Sepertiitulah ketika Walisongo mengenalkan agama Islam. Begitu besar candi Prambanan-Borobudur, begitu besar pula ajaran dan kebudayaan Hindu-Budha di bumi Nusantara ini. Dengan kebudayaan sebagai “wadah”, ajaran baru_pun dapat masuk melalui wadah tersebut untuk menyampaikan “isi”nya. Begitulah ketika Walisongo membalikkan Prambanan-Borobudur.

*Dikutip dari berbagai sumber.