Perdamaian
menjadi isu yang masih pantas untuk diperjuangkan. Pada saat dunia dilanda
berbagai keramaian seperti bermunculannya akhir-akhir ini, sering kita saksikan
dalam media, berbagai aksi dari ‘kekerasan’. Berbagai cara dilakukan untuk
mendapatkan konsensus kebenaran bahkan tak tanggung-tanggung dengan menjual
nama tuhan pun dilakukan sebagai pembenaran demi mendapatkan kesepakatan. Kebenaran
dialihkan menjadi kepentingan, maka tak jarang demi kepentingan kebenaran
itupun dialihkan menjadi kewajiban yang pantas untuk dibenarkan adanya Semua
itu menjadi tontonan yang muncul di era kekinian sebagai cerminan dari dunia
baru. Pada akhirnya berbagai negara dari belahan dunia ramai membicarakan
perihal serupa. Bahkan sampai pada tarap pembicaraan serius dengan mengadakan
pertemuan, semua itu dilakukan guna membahas isu perdamaian.
Salah
satunya Indonesia yang semangat menyuarakan isu perdamaian. Bahkan Indonesia
menjadi bagian dari negara yang tak bisa dianggap sepele dalam membicarakan isu
tersebut, terbukti dari keterlibatan Indonesia dalam kancah Internasional menjadi tuan rumah dari agenda besar
Konferensi Asia Afrika (KAA) yang baru saja perhelatannya dilaksanakan di
Bandung. Sejarah munculnya KAA pun tak lepas dari kuatnya pengaruh sang
proklamator melibatkan diri dalam dunia Internasional. Atas dasar dari hubungan
tersebut lalu kemudian berdampingan bersama negara-negara sahabat yang senasib sampai
tercetuslah agenda besar tersebut hingga perhelatannya masih kita saksikan.
Keterlibatan Indonesia merupakan bukti nyata bahwa negeri ini bosan mendapatkan
tindak kekerasan dan ketidak adilan dari kemunculan penguasa penjajah. Maka dengan
menyuarakannya menjadi refresentasi nyata dari kebencian bangsa akan kekerasan
dan ketidak adilan.
Penjajah
merupakan musuh besar suatu bangsa. Pada saat dunia menyuarakan anti penjajahan
namun masih ada yang tampil dalam wajah baru dengan topeng lain berarti telah
mengobarkan kembali api kebencian, meskipun kita sama-sama menyadari semua itu
dilakukan demi mendapatkan kemenangan. Kemenangan dari sebuah cita-cita banyak
dilakukan dengan berbagai tindakan. Padahal karena ketidak tahuan dari banyak
orang yang tidak menyadari bahwa proses menang dan kalah dalam hidup ini adalah
dialektika yang bisa bermakna terbalik dimata sejarah. Seperti yang pernah disampaikan oleh Anas Saidi (peneliti LIPI) gambaran dari dialektika terbalik bagi
pejuang keadilan sejati (anti korupsi) yang didholimi oleh kekuasaan,
sesungguhnya ia sedang mengenggam kemenangan yang tertunda. Sebaliknya bagi
koruptor yang dimenangkan kekuasaan, sesungguhnya ia hanya memegang paspor
kemenangan palsu. Kelak jika waktunya telah tiba, keadilan akan bicara sendiri
di depan pengadilan sejarah.
Begitupun
dengan kekalahan akan berubah menjadi kemenangan
yang diabadikan dalam memori sejarah sebagai pahlawan. Sebaliknya, kemenangan
akan berubah menjadi kekalahan yang tidak pernah dapat diampuni oleh keadilan
waktu. Selama di dunia, dimana keadilan bisa dikelabuhi, kemenangan dan
kekalahan hanyalah bersifat sementara dan semu. Bagi orang yang beriman,
keadilan dan kejahatan adalah sebuah nilai yang disodorkan Tuhan untuk
menyaring manusia terpilih untuk ditempatkan dalam keabadian: kesenangan dan
kesengsaraan yang tiada tepi.
Pada saat presiden menyuarakan anti
kekerasan dan mengutuk keras penjajahan Israel atas Palestina dan mengkritisi
kebijakan PBB dalam pidatonya di
pembukaan KAA kemarin, semestinya menjadi cerminan untuk semua bangsa. Sejatinya
semua itu menyuarakan atas nama ketidak adilan dan kemanusiaan. Kini mestinya terpatri
dalam ingatan bersifat mengikat dalam isu negeri tercinta. Beragamnya kebijakan
yang tidak berpihak pada kaum kecil mestinya menjadi bahan perbincangan pun juga
dalam tataran regional tiap wilayah atas dasar pembacaan yang tersampaikan oleh
pemimpin bangsa. Bangsa ini lelah menunggu dan kini telah sampai pada titik
kulminasi kebosanan, jengah dengan peradaban dari setiap rezim pemerintahan
yang terus mencekik. Apapun yang tersampaikan manakala tidak dibarengi dengan
tindakan kemanusiaan dalam lingkungan sekitar, semua itu menjadi omong kosong
belaka. Alhasil semua itu menjadi tontonan maupun klise semata karena melihat
pasar dari pembacanya.
Kini penjajah bukan hanya mereka bangsa barat
seperti dalam sejarah Nusantara. Buktinya bangsa kita masih teracuni pemikiran
lama, yakni pola pemerintahan feodal. Keyakinan itu telah mendarah daging, maka
sejatinya muncul pertanyaan, siapakah musuh kita kalau seandainya seperti itu,
karena senyatanya penjajah itu ada dalam lingkungan tempat tinggal kita, disekitar
kita. Saat masuk pada tataran regional perkampungan, petani tidak berdaya
menahan rasa sakit dari kemunculan para tengkulak yang tak bosan menggencet
harga semaunya. Begitupun dengan pemerintah, mereka tak mampu menahan harga,
bahkan cenderung acuh. Setidaknya itu yang diterima oleh masyarakat kita- para
petani desa.
Maka dalam penghayatan kehidupan manusia, kita
sering menemukan sosok yang menyuarakan telah masuk pada tataran penemuan jati
diri yang konsisten karena menyuarakan suara rakyat dengan dalih mereka menjadi
bagian dari rakyat, lalu meniadakan bagian lain dari kehidupannya padahal Syaiful Arif (Penulis
Buku Refilosofi Kebudayaan) pernah menyatakan bahwa perlu dibedakan antara
penemuan jati diri, dan bagaimana kita menempatkan diri di dunia. Yang pertama
bersifat eksistensial dan isolatif. Ini kita namakan idealisme. Sedang yang
kedua bersifat sosial, strategis dan melampaui diri. Ini terkait dengan strategi
beradaptasi dengan kenyataan. Orang yang bijak bukanlah yang menemukan jati
diri, lalu menolak realitas atas nama idealisme. Namun yang menerima kenyataan
(meskipun berbeda dengan diri) dan mengolahnya demi cita-cita idealistik. Dalam
kondisi ini, cara berpikir strategis bisa menjadi jalan bagi penanaman serta
perluasan nilai-nilai. Maka berbicara kebijakan, menjadi seorang pejuang bangsa bukan berarti malah memberangus
tataran lain dari lingkungan, justru malah mesti sebaliknya, mampu menjembatani
skala prioritas dari sang pemilik kewenangan hakiki- atas nama bangsa dan
rakyat jelata.