Cari Berita/Artikel :

Damailah Negeri ku

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

Perdamaian menjadi isu yang masih pantas untuk diperjuangkan. Pada saat dunia dilanda berbagai keramaian seperti bermunculannya akhir-akhir ini, sering kita saksikan dalam media, berbagai aksi dari ‘kekerasan’. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan konsensus kebenaran bahkan tak tanggung-tanggung dengan menjual nama tuhan pun dilakukan sebagai pembenaran demi mendapatkan kesepakatan. Kebenaran dialihkan menjadi kepentingan, maka tak jarang demi kepentingan kebenaran itupun dialihkan menjadi kewajiban yang pantas untuk dibenarkan adanya Semua itu menjadi tontonan yang muncul di era kekinian sebagai cerminan dari dunia baru. Pada akhirnya berbagai negara dari belahan dunia ramai membicarakan perihal serupa. Bahkan sampai pada tarap pembicaraan serius dengan mengadakan pertemuan, semua itu dilakukan guna membahas isu perdamaian.
Salah satunya Indonesia yang semangat menyuarakan isu perdamaian. Bahkan Indonesia menjadi bagian dari negara yang tak bisa dianggap sepele dalam membicarakan isu tersebut, terbukti dari keterlibatan Indonesia dalam kancah Internasional  menjadi tuan rumah dari agenda besar Konferensi Asia Afrika (KAA) yang baru saja perhelatannya dilaksanakan di Bandung. Sejarah munculnya KAA pun tak lepas dari kuatnya pengaruh sang proklamator melibatkan diri dalam dunia Internasional. Atas dasar dari hubungan tersebut lalu kemudian berdampingan bersama negara-negara sahabat yang senasib sampai tercetuslah agenda besar tersebut hingga perhelatannya masih kita saksikan. Keterlibatan Indonesia merupakan bukti nyata bahwa negeri ini bosan mendapatkan tindak kekerasan dan ketidak adilan dari kemunculan penguasa penjajah. Maka dengan menyuarakannya menjadi refresentasi nyata dari kebencian bangsa akan kekerasan dan ketidak adilan.
Penjajah merupakan musuh besar suatu bangsa. Pada saat dunia menyuarakan anti penjajahan namun masih ada yang tampil dalam wajah baru dengan topeng lain berarti telah mengobarkan kembali api kebencian, meskipun kita sama-sama menyadari semua itu dilakukan demi mendapatkan kemenangan. Kemenangan dari sebuah cita-cita banyak dilakukan dengan berbagai tindakan. Padahal karena ketidak tahuan dari banyak orang yang tidak menyadari bahwa proses menang dan kalah dalam hidup ini adalah dialektika yang bisa bermakna terbalik dimata sejarah. Seperti yang pernah disampaikan oleh Anas Saidi (peneliti LIPI) gambaran dari dialektika terbalik bagi pejuang keadilan sejati (anti korupsi) yang didholimi oleh kekuasaan, sesungguhnya ia sedang mengenggam kemenangan yang tertunda. Sebaliknya bagi koruptor yang dimenangkan kekuasaan, sesungguhnya ia hanya memegang paspor kemenangan palsu. Kelak jika waktunya telah tiba, keadilan akan bicara sendiri di depan pengadilan sejarah.
Begitupun dengan kekalahan akan berubah menjadi kemenangan yang diabadikan dalam memori sejarah sebagai pahlawan. Sebaliknya, kemenangan akan berubah menjadi kekalahan yang tidak pernah dapat diampuni oleh keadilan waktu. Selama di dunia, dimana keadilan bisa dikelabuhi, kemenangan dan kekalahan hanyalah bersifat sementara dan semu. Bagi orang yang beriman, keadilan dan kejahatan adalah sebuah nilai yang disodorkan Tuhan untuk menyaring manusia terpilih untuk ditempatkan dalam keabadian: kesenangan dan kesengsaraan yang tiada tepi.
Pada saat presiden menyuarakan anti kekerasan dan mengutuk keras penjajahan Israel atas Palestina dan mengkritisi kebijakan PBB  dalam pidatonya di pembukaan KAA kemarin, semestinya menjadi cerminan untuk semua bangsa. Sejatinya semua itu menyuarakan atas nama ketidak adilan dan kemanusiaan. Kini mestinya terpatri dalam ingatan bersifat mengikat dalam isu negeri tercinta. Beragamnya kebijakan yang tidak berpihak pada kaum kecil mestinya menjadi bahan perbincangan pun juga dalam tataran regional tiap wilayah atas dasar pembacaan yang tersampaikan oleh pemimpin bangsa. Bangsa ini lelah menunggu dan kini telah sampai pada titik kulminasi kebosanan, jengah dengan peradaban dari setiap rezim pemerintahan yang terus mencekik. Apapun yang tersampaikan manakala tidak dibarengi dengan tindakan kemanusiaan dalam lingkungan sekitar, semua itu menjadi omong kosong belaka. Alhasil semua itu menjadi tontonan maupun klise semata karena melihat pasar dari pembacanya.
Kini penjajah bukan hanya mereka bangsa barat seperti dalam sejarah Nusantara. Buktinya bangsa kita masih teracuni pemikiran lama, yakni pola pemerintahan feodal. Keyakinan itu telah mendarah daging, maka sejatinya muncul pertanyaan, siapakah musuh kita kalau seandainya seperti itu, karena senyatanya penjajah itu ada dalam lingkungan tempat tinggal kita, disekitar kita. Saat masuk pada tataran regional perkampungan, petani tidak berdaya menahan rasa sakit dari kemunculan para tengkulak yang tak bosan menggencet harga semaunya. Begitupun dengan pemerintah, mereka tak mampu menahan harga, bahkan cenderung acuh. Setidaknya itu yang diterima oleh masyarakat kita- para petani desa.
Maka dalam penghayatan kehidupan manusia, kita sering menemukan sosok yang menyuarakan telah masuk pada tataran penemuan jati diri yang konsisten karena menyuarakan suara rakyat dengan dalih mereka menjadi bagian dari rakyat, lalu meniadakan bagian lain dari kehidupannya padahal Syaiful Arif (Penulis Buku Refilosofi Kebudayaan) pernah menyatakan bahwa perlu dibedakan antara penemuan jati diri, dan bagaimana kita menempatkan diri di dunia. Yang pertama bersifat eksistensial dan isolatif. Ini kita namakan idealisme. Sedang yang kedua bersifat sosial, strategis dan melampaui diri. Ini terkait dengan strategi beradaptasi dengan kenyataan. Orang yang bijak bukanlah yang menemukan jati diri, lalu menolak realitas atas nama idealisme. Namun yang menerima kenyataan (meskipun berbeda dengan diri) dan mengolahnya demi cita-cita idealistik. Dalam kondisi ini, cara berpikir strategis bisa menjadi jalan bagi penanaman serta perluasan nilai-nilai. Maka berbicara kebijakan, menjadi seorang  pejuang bangsa bukan berarti malah memberangus tataran lain dari lingkungan, justru malah mesti sebaliknya, mampu menjembatani skala prioritas dari sang pemilik kewenangan hakiki- atas nama bangsa dan rakyat jelata.