Cari Berita/Artikel :

Demokrasi Tergadaikan, Pemuda lahan Korban

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

Bangsa yang besar ialah bagsa yang menganal budayanya. Sekiranya inilah yang ingin disampaikan mengunduh dari salah satu peribahasa. Negeri ini terdiri dari berbagai pulau sehingga pantas disebut sebagai negeri kepulauan. Negeri yang memiliki kekayaan berbagai budaya, suku, bahasa, serta berpenduduk jama’. Negeri ini (baca: Indonesia) kaya, kekayaannya dikenal dijagat raya. Perairan penuh dengan perikanan, daratan dipenuhi dengan berbagai kekayaan alam, tak kurang kekayaan negeri ini. Namun bangsa ini tak bisa menikmati kekayaan yang telah tersedia di taman surga Indonesia.
            Kekayaan alam Indonesia melimpah telah dikenal dari masa sejarah. Bahkan kekayaannya berhasil mendatangkan berbagai bangsa hingga menjajah negeri nan kaya ini. Mulai dari bangsa Belanda, Inggris, Francis, Portugis, Arab, Cina dan bangsa lain yang sempat menduduki sebagian wilayah dari Indonesia. Sejarah silam menjelaskan terjajahnya nusantara mayoritas oleh bangsa asing yang bermaksud berdagang. Indonesia kini tak jauh beda ceritanya seperti cerita dimasa silam. Terlebih ditahun politik 2014 silam beredarnya isu kerjasama pemodal dengan calon penguasa. Kini kaum muda harus lebih jeli dalam memilih pemimpin yang hendak berkuasa . Kaum muda seharusnya menjadi pelopor terciptanya pemimpin yang pro terhadap rakyatnya karena pemberi kontribusi terciptanya pemimpin masa depan. Ade amanulah sindo 11/03 menuliskan “pemilih pemula 17-21 (kaum muda) pada pemilu 2014 berjumlah 22 juta jiwa “ bahkan bisa saja lebih dari angka tersebut.
Pemuda menjadi target utama dalam panggung demokrasi yang hendak dilaksanakan dalam agenda pilkada serentak nanti . Berdasarkan data pemilih awal-pemuda yang dalam hitungannya tidaklah sedikit, merupakan lapak bagi para calon untuk mereka tarik mendukungnya. Tentunya dengan berbagai cara akan dilakukan, termasuk dengan membeli suaranya. Maka dari itu, perlunya pemilih awal mengetahui berbagai langkah sebelum terjerumus pada lembah perdagangan suara dipesta demokrasi nanti.
Telah banyak yang menjelaskan mengenai kriteria pemimpin sebelum   dipilih. Salah satunya dengan mengenali latar belakangnya, belum terjerat hukum, baik dari partai yang mengusungnya ataupun pribadinya. Kemudian pemimpin yang memiliki karakter dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Hal tersebut sebagai filter atas kemarakan kasus yang terjadi setelah terpilihnya beberapa tokoh ditahun-tahun sebelumnya serta kasus lainnya yang seolah pemimpin rakyat negeri ini seperti kacung pemodal . Semua keterangan tersebut mesti menjadi pelajaran untuk kita semua, terlebih kaum muda bagi pemilih awal.
Mengutip dari salah salah satu statement tokoh yang menyatakan bahwa “Salah satu disfungsi demokrasi ketika kebebasan hanya dimaknai "bebas dari" dan bukan "bebas untuk". Akibatnya, kebebasan bergerak secara liar tanpa menemukan makna kebebasan sebagai penjaring kehendak bersama, meratakan jalan konsensus yang bermutu dan melindungi kelompok yang paling tertindas. Demokrasi akhirnya sekadar mewisuda politik jalanan yang mengandalkan pemungutan suara yang di dalangi uang dan ketenaran. Buahnya demokrasi hanya menghasilkan tradisi caci-maki yang jauh dari keadaban politik yang paling minimal. Setiap pilkada hanya mendaur ulang stock lama dan mengesahkan ritual demokrasi prosedural yang kosong dari upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan. Rakyat secara berulang-ulang dijadikan stempel demokrasi yang kemudian dicabut perannya sebagai pemilik kedauatan.
Demokrasi kini telah semakin mahal. Terasakan dari kebanyakan masyarakat pinggiran bahkan perkotaan, masih memiliki pemahaman bahwa pemimpin yang pantas dipilihnya ialah yang berani membayar suaranya. Dengan demikian proses pilkada dijadikan modal untuk bisnis bagi sebagian elite politik agar tercapai keinginannya bahkan tak luput dari sebagian masyarakatpun sama. Memang tidak semua masyarakat menyepakati adanya pola penjualan suara. Hanya saja, kadang masih menemukan adanya praktek penjualan suara. Baik itu masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Jikalau masih terus berlaku sistem penjualan suara, tentunya ini menjadi bumerang terhadap sistem kenegaraan yang kita pakai saat ini. Alasannya demokrasi akan terhitung mahal karena harus dibayar dengan angka yang tidak sedikit. Hal itu tentu tidak diharapkan untuk kalangan selanjutnya. Sudah seharusnya semua itu dihilangkan dari peredaran politik di Indonesia.
Adanya penyadaran dari masyarakat atas pentingnya pemutusan budaya politik mahal, maka kaum muda bukan seharusnya apatis terhadap proses pilkada serentak yang akan dilangsungkan nanti. Kaum muda sudah seharusnya menjadi promotor bagi masyarakat  di lingkungannya. Dengan menolak semua jenis yang menyebabkan mahalnya demokrasi merupakan tindak nyata turut andilnya kaum muda dalam proses ketertiban sistem kenegaraan. Memilih pemimpin dengan kriteria yang ada dalam pikiran. Dengan demikian perjalanan pemerintahan tidak lagi dipenuhi dengan berbagai kisruh korupsi yang telah menjamur. Memilih bukan karena adanya pembelian, memberikan kemudahan untuk ketentraman. Karena dengan adanya pembelian suara, manakala pemimpin yang jadi karena hasil dari pembelian suara, tentulah dampak setelahnya, tidaklah lain akan terus terulang sejarah. Keterulangan sejarah tentu akan memperburuk sistem demokrasi di negeri ini.