Oleh : Zezen Zaenudin Ali
Beberapa bulan lalu, kasus tindak kekerasan pada anak yang
dilakukan oleh siswa disalah satu
sekolah menjadi tema utama beredar dimedia, bahkan beberapa media
membesarkannya menjadi isu nasional. Hampir setiap tayangan dibeberapa acara
televisi membahas isu tersebut, mulai dari berita yang bersifat serius
sampai acara lawakan turut
meramaikannya. Seperti tak mau ketinggalan jejaring sosial seperti facebook,
twitter pun turut membesarkan isu yang
di kawal dari daerah ujung barat Sumatra tersebut. Tak lepas hanya berakhir
sampai keinformasi semata, melainkan terus merembet sampai kearah pembahasan
nilai, antara nilai positif dan negatif.
Anehnya meskipun telah dibahas sedemikian rupa mengenai kasus tersebut, tayangan di televisi yang memicu bermunculannya
kasus serupa masih sering ditemukan dan terus dipertontonkan. Terlebih dengan bertambahnya
intensitas waktu penayangan yang cenderung diwaktu senggang, acara-acara
semacam itu tentunya akan terus dikonsumsi oleh massa- termasuk anak usia dini.
Persoalannya meskipun menuai banyak
kritikan dari berbagai kalangan, namun berbagai acara televisi seperti sinetron,
bukannya mengambil sikap positif alih-alih mengeksplorasikan kebebasan media
untuk menarik keuntungan semaksimal mungkin. Sebut saja, sinetron ganteng-ganteng
srigala, vampir dan tujuh manusia harimau menjadi salah satu penyumbang dari
maraknya berbagai aksi kekerasan pada anak.
Tayangan televisi yang menayangkan tindak kekerasan tersebut menuai
prokontra antar penikmat sinetron tersebut, sebagian menganggap wajar apa yang
ditayangkan, karena berasumsi hanya sebatas hiburan semata. Namun bagi mereka
yang memposisikan sebagai pihak yang berkontra berasumsi tak hanya sebatas
hiburan karena dampaknya bukan hanya menuntun pada kasus kekerasan, lebih jauh
dari itu beberapa tayangannya terus mengeksplorasi berbagai ekspresi dari dua
lawan jenis yang seharusnya belum menjadi konsumsi anak-anak. Tentunya itu
dalam lingkungan masyarakat tataran Indonesia masihlah dianggap tabu karena
memang belum saatnya, maka peran orang tua sangat dibutuhkan manakala sedang
menikmati hidangan televisi.
Televisi menjadi hidangan manusia masa kini. Kehidupan manusia
tidak akan pernah bisa lepas dari entertaint yang telah muncul di era digital.
Televisi telah menjadi gaya hidup manusia, terlebih setelah televisi masuk
rumah. Kehidupan manusia dalam ritual kesehariannya selalu menghidangkan
hidangan yang ada dalam televisi. Segala
Beberapa bulan yang lalu, setelah pemerintahan rezim Jokowi
berkuasa, pemerintah menyumbangkan ide pemikirannya untuk mengembalikan
identitas bangsa yang bermoral serta bermartabat. Langkahnyapun diawalinya dari
sistem pendidikan Indonesia. Kurikulum
pendidikan dimasa akhir pemerintahan SBY menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 2013. Kurikulum tersebut beredar menyesuaikan visi yang di harapkan
sang pemerintah, tujuannya mulia yakni hendak mengangkat masyarakat pendidikan
di Indonesia lebih maju serta mampu bersaing dengan negara lain. Pasalnya
semacam itu, hanya saja, ternyata tidak bisa lancar seperti mengembaikan
telapak tangan. Karena masih ditemukannya berbagai keganjalan di lapangan.
Pro kontrapun terus bermunculan, karena peralihan kurikulum
dimaksudkan lebih bersifat proyek semata. Silih bergantinya sistem
pendidikan Indonesia memberikan dampak buruk bagi beberapa penikmat pendidikan,
dalam hal ini siswapun turut kebagian imbasnya. Bahkan bukan hanya siwa, guru
yang di jadikan peganganpun harus menelan ludah karena kebingungan. Sebut saja
Eha (nama samaran) salah satu guru Madrasah Ibtidaiyah di Cirebon. Ia mengaku kebingungan harus mengikuti sistem
yang di instruksikan. Bukan tanpa alasan, dirinya mengaku masih gaptek
dalam hal Ilmu Teknologi (IT).
Lebih parahnya, kurikulum 2013- Kurtilas, diharapkan bisa merata di
seluruh penjuru nusantara, padahal dalam pelaksanaannya masih ditemukannya
berbagai ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bisa dilihat dari kurang
siapnya pemerintah dalam menyuplai fasilitas yang mestinya dimiliki oleh setiap
sekolah. Bisa dibayangkan, sekolah dari setiap daerah memiliki faasilitas yang
berbeda-beda.maka bagaimana bisa mensejajarkan dalam lingkup nasional jika
dalam satu daerah saja masih ditemukan adanya perbedaan dalam hal fasilitas
sekolah.
Pada kenyataannya, untuk mendapatkan pengetahuan tak
hanya melalui pendidikan formal. Disaat pemerintah bermain dalam sistem
pendidikan yang mana Sekolah-sekolah menjadi corong utama dalam menempuh pendidikan
yang bersifat formal, maka sekolah yang indevenden bisa menjadi salah satu
alternatif meninggalkan sistem pendidikan yang selalu dikawal pemerintah. Salah
satunya sistem pendidikan non formal yang dikawal oleh pondok pesantren.
disamping tingkat keberpihakannya lebih miring, juga memiliki kualitas yang
bisa dikatakan jauh lebih sempurna.
Kenapa demikian, karena pendidikan yang
dijalankan oleh pondok pesantren memiliki visi mencetak insan yang berbudi dan
berakhlakul karimah sesuai dengan motto tersebut maka dalam pelaksanaan
kehidupan kesehariannyapun di kawal untuk menyadari berbagai segi keilmuan yang
bisa diterapkan dalam kehiduapan sehari-hari.