Oleh : Zezen Zaenudin Ali
Gejolak ke-tuhan-an yang beredar sekarang ini, sungguh sangat luar
biasa bahkan sejak dari zaman dahulu, tak lepas dari bahasan publik yang
cenderung hilang dari jangkauan bahasan orang-orang. Tuhan dengan seabreg
penamaan yang melekat padaNya, mulai dari masing-masing lembaga legitimasi yang
sering di kenal dengan istilah”agama” seperti islam menyebutnya dengan Allah
[dibaca: Alloh} kristen dengan sebutan roh kudus atau semacamnya, yhwh,kristus,dll
yang mungkin merupakan tuhan tiga agama besar yang selalu mengatas namakan
agama monoteism. Tuhan-tuhan dengan seabreg nama tersebut semuanya
memiliki pengaruh tersendiri bagi setiap pengikutnya, tentunya dengan segudang
keistimewaan yang selalu melekat padaNya.
Alangkah agungnya engkau, disanjung di puja oleh segenap para
penyembahmu, dengan segenap keyakinan terhadapmu, sehingga banyak yang rela
berkorban demi namamu ‘tuhan’. Tuhan, keagungan Mu sudah tak terelakan lagi di
sisi para pemuja-Mu, dengan segala keistimewaan yang melekat pada-Mu, bahkan
jenis pengorbanan demi ‘engkau’pun beragam jenisnya, sampai ada peribahasa
menyebutkan “aku rela mati demi ‘kamu’, dengan istilah mati karena tuhan”. Atau
semacamnya. Tuhan yang agung, Tuhan semesta alam, kebimbangan sudah semestinya
ada dan melekat bagi para pencari-Mu. Berlandaskan atas keberagaman nama-Mu,
kata orang kebenaran ada yang hakiki, kebenaran yang mana sebenarnya tentang
kebenaran hakiki tersebut, apakah itu tentang-Mu..? alangkah indahnya jika
kebenaran itu dapat tampak dan menampakan diri agar tidak ada lagi perpecahan
pandangan tentang-Mu, namun, jika ketampakanMu begitu berharga untuk engkau suguhkan bagi hamba yang ‘hina’, maka sudah
sepantasnya keberagaman itu nampak adanya dan tentunya tidak mesti harus
dipersalahkan, karena itu semua adalah ’ulah’-Mu yang telah engkau restui
terhadap kami.
Namun jika keberagaman ini tak ‘engkau’ restui, sudah semestinya
engkau lenyapkan saja, karena atas ulah-Mu itu, banyak korban hilang kendali bahkan
rela meninggalkan kefanaan dunia atas nama-Mu. Dosa siapakah ini semua? perlukah
kami mengibarkan bendera peperangan untuk terus menyebut nama-Mu atas perbedaan
pandangan tentang-Mu. tuhan begitu agung pengaruhmu, banyak hal mencercamu,
namun engkau masih tetap berdiri dengan senyuman menghiasi rona pipimu yang
sudah mengeriput, (t)uhan seandainya seperti ini masih terus engkau biarkan,
semestinya jadikan saja panggung ini penuh dengan kehinaan kebiadaban atas nama
(t)uhan. Sungguh mengerikan dan menjijikan kabar yang beredar akhir-akhir ini
tentangmu (t)uhan.
Disaat tuhan-tuhan kecil
mulai berkeliaran, dikancah perekonomian yang kian merajai atas kuasamu,
dipasaran dan geliat dunia bebas hiburan, hamba-hamba yang telah diperbudak
oleh dominasi kekuasaan atas pengaruh media cetak dan elektronik, seolah
kelincahan (t)uhan dalam berakting menjadi tokoh idola bagi setiap
hamba-hambanya. Namun sedikit yang melihat akibat dari penghambaannya itu.
Jikalau berandai masih diperlukan, akankah Tuhan-Tuhan yang telah
beredar bak jamur itu bersatu memenuhi panggilan
hamba-hambanya yang selalu setia menyebut namanya? tentu ini merupakan sebuah
harapan atau mungkin hanya sebuah cercaan segelintir orang, namun yang pasti
kehadirannya tidak bisa terelakan bagaikan sebuah simbol keseimbangan alam dengan
keberadaannya atau keberagaman itu semua hakikatnya cuma ada satu, apa yang
disimbolkan oleh para pencarimu (masyarakat) selama ini yang merujuk pada satu
nama, istilah lainnya meski beragam bendera yang berkibar di udara hakikatnya
hanya satu tujuan yang esa, namun pertanyaannya, keesaannya itu berlandaskan
atas dasar apa, bukankah dengan beragam itu sendiri karena setiap hambanya
memiliki standar (citra) masing-masing tentang tuhannya?.
(t)uhan-(t)uhan kecil yang
menduduki kursinya menikmati jamuan istimewa yang telah tersaji di hidanganya
selalu bermuka manis dihadapan para hambanya, namun diluaran sana kasat mata gejolak
tingkahnya, begitu buas menerkam setiap hal yang menghalangi jalannya, keserakahanpun
menimpanya. Pantaslah jika dapat dikata ‘tuhan telah mati’. Awal kematiannya
memang tidak seorangpun mengetahuinya, yang ada adalah bentuk nyata dari
kematiannya, segudang kucing hitam yang
tertindas atas kerakusan bejadnya moral (t)uhan, melalap semua ‘bangunan megah’
yang telah tertata dalam kitab suci 1945. Kebobrokan masih terus dilestarikan,
meski kata diatas kertas ‘mereka ingin
mengubah citra bangsa’, namun hasilnya tetap nihil tak ada perobahan berarti,
inilah kematian (t)uhan, kematian yang telah direncanakan oleh (t)uhan sebelum
kebangkitannya.
Manusia
adalah fotokopiannya Tuhan, segala yang bersifat positif ialah kagungan
Tuhan dengan istilah rohman dan rohimnya. Apa jadinya jikalau konsep
Tuhan itu telah musnah dari balutan zaman atas istilahnya telah usang, tentu
sangatlah pantas ungkapan ‘tuhan telah
mati’ yang sempet meruntuhkan kebudayaan Eropa beberapa abad silam,
ungkapan itu meruntuhkan emosi bangsa Eropa menjadi jembatan pembaharu atas
perkembangan akal dari bangsa Barat. Kematiannya menjadi tombak pengukur bahwa
etika masih bergerilya dalam benak manusia. Manusia sejatinya menjadi manusia,
yang bisa memberikan keluasan serta kenyamanan bagi sesamanya.