Modernisme
menjadi salah satu fase penting dalam dunia intelektual yang tak lepas dari
perbincangan serta berbagai polemik. Salah satu isu yang dimunculkan dari
polemik tersebut ialah produk situasi krisis kultural dalam masyarakat. Semua
itu diakibatkan atas dasar dari
kejenuhan orang-orang terhadap kecacatan arus modernisasi seperti yang khas
darinya mengenai isu-isu sentralisasi, birokrasi, imperialisme, dominasi dan
lain sebagainya. Mengikuti berbagai polemik itu, orang dapat dibawa ke suatu
“situasi seolah-olah” yang ambivalen: disatu pihak merasa seolah-olah mampu
mengatasi situasi historis aktual dengan menjadi “post”, tetapi dilain pihak merasa
sudah mengenali acuan-acuan dari kosakata-kosakata baru, semacam baju baru bagi
keprihatinan-keprihatinan lama.
Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan modernitas? Istilah modernitas merupakan substansiasi berpangkal
dari kata sifat “modern” dalam bahasa Latin yaitu moderna yang artinya adalah “saat kini” atau bisa dibahasakan juga
dengan istilah “baru”. Dalam polemik tersebut, konsep modernitas diartikannya
baik sebagai konsep waktu (zaman baru) maupun sebagai konsep epistemis
(kesadaran baru). Secara epistemis modernitas memiliki empat elemen pokok,
yaitu pertama subjektivitas dan reflektif yaitu pengakuan akan
kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah kedisiplinan. Kemudian kedua
subjektivitas berkaitan dengan kritik atau rekreksi, yaitu kemampuan untuk
menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi sejarah. Ketiga Kesadaran
historis yang dimunculkan oleh subjek bahwa waktu berlangsung secara linear,
progresif, unik, tak terulangi dengan menekankan pada kekinian sebagai sumber yang langka (F. Budi
Hardiman.194.2003) oleh sebab itu modernisme memiliki kosa kata yang khas yang
digunakan dalam menyampaikan ide-idenya, yakni revolusi, evolusi, transformasi
dan seterusnya yang artinya kebaruan itu dimungkinkan.
Keempat
universalisme yakni yang mendasari dari ketiga elemen yang lain. Dengan
demikian semua elemen modernitas tersebut bersifat normatif bagi masyarakat
yang melangsungkan proses modernisasi. Secara historis semangat dari
aktualisasi sifat normatif ini berkembang pada masa gerakan humanisme renaisans
diabad ke-16 serta pada masa perkembangan sains dan teknologi. Dengan
modernisasi kebenaran wahyu diuji dihadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan
dipersoalkan melalui kritik, kesahihan tradisi dipertanyakan oleh adanya
harapan masa depan yang lebih baik. Sejak melangsungkan proyek modernisasi
tersebut manusia lambat laun mengalami berbagai perubahan terlebih mulai
kehilangan sikap naifnya.
Berkaca
atas catatan sejarah tersebut, kita mulai mempertanyakan kembali efektifitas sebagai
masyarakat berbudaya. Secara historis maupun secara geografis berada dalam
tataran wilayah ketimuran serta memiliki sisi historis panjang mengamalkan
kebiasaan timur-karena lama berhubungan dengan negeri penggagas hasanah intelektual ketimuran seperti India. Akhir-akhir ini keadaan
dilingkungan kita cenderung mengamini berbagai elemen atas modernitas padahal telah
diakui bahwa modernitas dinegeri asalnya meninggalkan berbagai segi kecacatan
lalu kemudian telah mulai mereka tinggalkan, tetapi kenapa sebaliknya dinegeri
berbudaya ini kebiasaan yang telah mulai penciptanya tinggalkan tetapi dimulai
diliriknya bahkan dikembangkannya. Meskipun rutinitas mendaur ulang tidak
selamanya bersifat negatif, tetapi mendaur ulang dari produk asalnya merupakan
tindakan lemah karena dari segi kualitas menduduki kelas kedua karena telah
terlempar jauh dari yang utama, maka kenapa tidak memilih ‘sesuatu’ bermuatan kualitas nomer wahid.
Kaitannya
dalam hal ini ialah maraknya fenomena pendidikan yang berembel-embel basis, sebut
saja dalam proyek pendidikan saat ini sering kita menyaksikan adanya visi
lembaga pendidikan berbasis teknologi, meninggalkan basis keeksotisan dari
budaya luhur yang telah mengakar atau dalam bahasa padang pasir dikenal dengan
akhlakul karimah. Tentunya hal ini sangat disayangkan bagi negeri yang telah
lama mengedepankan budaya luhur tersebut. Dalam sejarah bangsa, budaya luhur
tersebut selalu dipegang oleh bangsa kita prilaku ciri khas darinya ialah gotong royong, tenggang rasa, adap asor
atau kosa-kata lainnya yang pernah menghiasi perihal khasanah intelektual
sebagai manifestasi dari budaya luhur dimiliki oleh bangsa terjajah adat
ketimuran.
Kembali pada isu
akhir-akhir ini yang melanda pendidikan dinegeri ini. Tema besar dari visi pendidikan
marak dimunculkan. Semuanya berujung pada stategi pemasaran dari salah satu elemen
modernitas. Nilai tambah dari modernitas ialah kemunculan ide subjektifitas
yang menyembunyikan kekuatan, tertuang dalam proyek kemanusiaan seperti dalam
pendidikan, kesehatan, penjara dan lain-lain. Semua itu merupakan teknik
dominasi atas subjektifitas dari guru, para dokter, politikus maupun manusia
pada umumnya. Hal ini mendistorsi dari keorisinilan tugas dari pendidikan
‘untuk mencerdaskan’ dalam undang-undang 1945 yang menjadi panutan bangsa ini.
Alih-alih mencerdaskan yaang terjadi menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk
mendapatkan keuntungan. Pada akhirnya lembaga pendidikan hanya menyediakan sesuatu hanya berlandaskan pada
kebutuhan pasar semata. Maka politik kepentingan bermain, dalam penyesuaian
kebutuhan. Tak ayal kemudian ditemukan beragam fenomena mulai dari
standarisasi, pengkapling-kaplingan nilai formal selembar tanda, bahkan
membangun formasi legal serta tak legal untuk membangun perputaran hegemoni
pendidikan-guru. Jelaslah elemen dari peninggalan modernitas menjelma menajdi
pandangan hidup yang mengarahkan masyarakat untuk menuju kearah yang
ditentukannya. Pada akhirnya manusia hanya mencari platform tanpa mengetahui identitas sesungguhnya, disitulah terjadi
keterasingan bagi dirinya seperti yang diungkapkan Marx, meskipun tak seperti maksud
utama dalam pandangan marx, namun setidaknya konsep alienasi ini dapat menerpa
siapapun tanpa kecuali, termasuk dalam hal menyesuaikan kebutuhan pasar.