Cari Berita/Artikel :

Modernisme

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

Modernisme menjadi salah satu fase penting dalam dunia intelektual yang tak lepas dari perbincangan serta berbagai polemik. Salah satu isu yang dimunculkan dari polemik tersebut ialah produk situasi krisis kultural dalam masyarakat. Semua itu diakibatkan atas dasar  dari kejenuhan orang-orang terhadap kecacatan arus modernisasi seperti yang khas darinya mengenai isu-isu sentralisasi, birokrasi, imperialisme, dominasi dan lain sebagainya. Mengikuti berbagai polemik itu, orang dapat dibawa ke suatu “situasi seolah-olah” yang ambivalen: disatu pihak merasa seolah-olah mampu mengatasi situasi historis aktual dengan menjadi “post”, tetapi dilain pihak merasa sudah mengenali acuan-acuan dari kosakata-kosakata baru, semacam baju baru bagi keprihatinan-keprihatinan lama.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan modernitas? Istilah modernitas merupakan substansiasi berpangkal dari kata sifat “modern” dalam bahasa Latin yaitu moderna yang artinya adalah “saat kini” atau bisa dibahasakan juga dengan istilah “baru”. Dalam polemik tersebut, konsep modernitas diartikannya baik sebagai konsep waktu (zaman baru) maupun sebagai konsep epistemis (kesadaran baru). Secara epistemis modernitas memiliki empat elemen pokok, yaitu pertama subjektivitas dan reflektif yaitu pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional dalam memecahkan masalah kedisiplinan. Kemudian kedua subjektivitas berkaitan dengan kritik atau rekreksi, yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari tradisi sejarah. Ketiga Kesadaran historis yang dimunculkan oleh subjek bahwa waktu berlangsung secara linear, progresif, unik, tak terulangi dengan menekankan pada kekinian  sebagai sumber yang langka (F. Budi Hardiman.194.2003) oleh sebab itu modernisme memiliki kosa kata yang khas yang digunakan dalam menyampaikan ide-idenya, yakni revolusi, evolusi, transformasi dan seterusnya yang artinya kebaruan itu dimungkinkan.
Keempat universalisme yakni yang mendasari dari ketiga elemen yang lain. Dengan demikian semua elemen modernitas tersebut bersifat normatif bagi masyarakat yang melangsungkan proses modernisasi. Secara historis semangat dari aktualisasi sifat normatif ini berkembang pada masa gerakan humanisme renaisans diabad ke-16 serta pada masa perkembangan sains dan teknologi. Dengan modernisasi kebenaran wahyu diuji dihadapan rasionalitas, legitimasi kekuasaan dipersoalkan melalui kritik, kesahihan tradisi dipertanyakan oleh adanya harapan masa depan yang lebih baik. Sejak melangsungkan proyek modernisasi tersebut manusia lambat laun mengalami berbagai perubahan terlebih mulai kehilangan sikap naifnya.
Berkaca atas catatan sejarah tersebut, kita mulai mempertanyakan kembali efektifitas sebagai masyarakat berbudaya. Secara historis maupun secara geografis berada dalam tataran wilayah ketimuran serta memiliki sisi historis panjang mengamalkan kebiasaan timur-karena lama berhubungan dengan negeri penggagas hasanah intelektual  ketimuran seperti India. Akhir-akhir ini keadaan dilingkungan kita cenderung mengamini berbagai elemen atas modernitas padahal telah diakui bahwa modernitas dinegeri asalnya meninggalkan berbagai segi kecacatan lalu kemudian telah mulai mereka tinggalkan, tetapi kenapa sebaliknya dinegeri berbudaya ini kebiasaan yang telah mulai penciptanya tinggalkan tetapi dimulai diliriknya bahkan dikembangkannya. Meskipun rutinitas mendaur ulang tidak selamanya bersifat negatif, tetapi mendaur ulang dari produk asalnya merupakan tindakan lemah karena dari segi kualitas menduduki kelas kedua karena telah terlempar jauh dari yang utama, maka kenapa tidak memilih ‘sesuatu’ bermuatan kualitas nomer wahid.
Kaitannya dalam hal ini ialah maraknya fenomena pendidikan yang berembel-embel basis, sebut saja dalam proyek pendidikan saat ini sering kita menyaksikan adanya visi lembaga pendidikan berbasis teknologi, meninggalkan basis keeksotisan dari budaya luhur yang telah mengakar atau dalam bahasa padang pasir dikenal dengan akhlakul karimah. Tentunya hal ini sangat disayangkan bagi negeri yang telah lama mengedepankan budaya luhur tersebut. Dalam sejarah bangsa, budaya luhur tersebut selalu dipegang oleh bangsa kita prilaku ciri khas darinya ialah gotong royong, tenggang rasa, adap asor atau kosa-kata lainnya yang pernah menghiasi perihal khasanah intelektual sebagai manifestasi dari budaya luhur dimiliki oleh bangsa terjajah adat ketimuran.
Kembali pada isu akhir-akhir ini yang melanda pendidikan dinegeri ini. Tema besar dari visi pendidikan marak dimunculkan. Semuanya berujung pada stategi pemasaran dari salah satu elemen modernitas. Nilai tambah dari modernitas ialah kemunculan ide subjektifitas yang menyembunyikan kekuatan, tertuang dalam proyek kemanusiaan seperti dalam pendidikan, kesehatan, penjara dan lain-lain. Semua itu merupakan teknik dominasi atas subjektifitas dari guru, para dokter, politikus maupun manusia pada umumnya. Hal ini mendistorsi dari keorisinilan tugas dari pendidikan ‘untuk mencerdaskan’ dalam undang-undang 1945 yang menjadi panutan bangsa ini. Alih-alih mencerdaskan yaang terjadi menjadikan pendidikan sebagai lahan untuk mendapatkan keuntungan. Pada akhirnya lembaga pendidikan hanya menyediakan sesuatu hanya berlandaskan pada kebutuhan pasar semata. Maka politik kepentingan bermain, dalam penyesuaian kebutuhan. Tak ayal kemudian ditemukan beragam fenomena mulai dari standarisasi, pengkapling-kaplingan nilai formal selembar tanda, bahkan membangun formasi legal serta tak legal untuk membangun perputaran hegemoni pendidikan-guru. Jelaslah elemen dari peninggalan modernitas menjelma menajdi pandangan hidup yang mengarahkan masyarakat untuk menuju kearah yang ditentukannya. Pada akhirnya manusia hanya mencari platform tanpa mengetahui identitas sesungguhnya, disitulah terjadi keterasingan bagi dirinya seperti yang diungkapkan Marx, meskipun tak seperti maksud utama dalam pandangan marx, namun setidaknya konsep alienasi ini dapat menerpa siapapun tanpa kecuali, termasuk dalam hal menyesuaikan kebutuhan pasar.