Cari Berita/Artikel :

Kelompok ELITE untuk SIAPA? (Analisis Hegemoni)

Oleh : Zezen Zaenudin Ali



Kopi hitam tertuang dalam cangkir yang terbalut oleh variasi warna bertemakan kebahagian atas kebersamaan. Racikan kopi yang tertuang pun mengeluarkan aroma kenikmatan merasuk kedalam indra pencium menyisakan rasa penasaran untuk berusaha mencicipinya. Meski terbilang sebagai penikmat kopi amatir karena belum terbiasa, namun sejatinya manusia dirasa manusiawi manakala mencium aroma nikmat yang khas ditimbulkan dari seduhan kopi menggugah selera untuk segera mencicipi citarasa yang akan ditimbulkan darinya. Rasa kopipun meledak sejak seruputan awal bak bom atom yang diledakan ditengah kota menyapu segala atribut serta beragam kehidupan didalamnya alhasil seruputan demi seruputan pun terus melaju tak mau tertinggal setetespun dalam cup yang tersedia dimeja. Kenikmatan dari kopi hitam yang dihidangkan ini, kunikmati dalam kesunyian, terlihat jelas dalam layar pemutar waktu menunjukan tengah malam. Kesunyian memberikan sejuta imajinasi berseliweran dalam angan, agar momen ini tak hilang kan kutuangkan dalam lembaran kosong. Lembaran itupun dimulai dari ungkapan sederhana atas berbagai fenomena dilingkungan sekitar yang menyebar belakangan ini.
Aku menyaksikan geliat kelompok sosial berkeliaran dibeberapa daerah. Mereka mengatas namakan kelompok tersebut dengan sebutan gerakan atau semacamnya. Mereka ada tersebar berseliweran diberbagai daerah, kemudian menciptakan peradaban bertemakan semi sentralisasi dikemudikan oleh wacana tunggal mengorganisasi berbagai kelompoknya – karena memang memiliki strata tersendiri dalam permainannya. Kelompok tersebut bersifat multikulturalism masuk dalam kategori lingkaran besar. Kemunculannya menandakan gelombang progresif menciptakan peradaban bernilai positif disatu sisi. Fenomena tersebut terlihat sebagai wacana baru dalam menerapkan gelombang historis dimasa perjuangan, baik perjuangan melawan penjajah, melawan kelas penguasa dan lain-lain. Geliat itu sepintas memberikan angin segar bak ombak dilaut luas yang menambah gairah keindahan yang khas dari adanya pantai, karena kurang  indah rasanya memandang pantai tenang tanpa adanya ombak yang bergulung-gulung saling berkejar-kejaran.
Adanya kelompok tersebut memberi harapan baru bagi masyarakat luas, karena eksistensi keberadaannya menandakan kepedulian terhadap kehidupan berperadaban tinggi khususnya menjawab tantangan pemerintah dalam menuntaskan program pembangunan yang sering dijadikan jargon pemerintah namun sejauh ini masih ditemukan kecacatan disana-sini. Kehadirannya sedikit berkontribusi menanggulangi kecacatan pembangunan sekaligus memberikan jaminan awal atas ketidak percayaan masyarakat terhadap institusi negara dalam penyelenggaraannya. Atas dasar itulah kehadiran kelompok tersebut dapat saja menjadi brand tersediri menjawab berbagai kekecewaan masyarakat kepada pemimpin publik yang oleh Gramsci sebutkan atas tindakan kelompok itu dengan istilah kontra hegemoni.
Pelaku pelaksana kebijakan memaksimalkan upayanya untuk bisa mendapatkan ‘kepercayaan’ publik sebagai imbas atas kepercayaan yang telah dibebankan kepadanya. Hanya saja, dirasa kurang mengena bagi masyarakat atas kebijakan yang dilaksanakan karena tidak merata sehingga rutinitas dari pembantu masyarakat tersebut belum bisa dinikmati oleh kalangan bawah. Alhasil memunculkan ragam geliat dikalangan bawah sebagai bentuk protes atas ketidak meratataannya upaya yang diberikan oleh pemerintah. Proses tersebut dijadikan sebagai kontra Hegemoni, dalam artian bahwa tindakan pengelolaan kelompok sosial yang telah mengorganisasi dan memberikan wacana baru sebagai geliat perlawanan ketidak puasan masyarakat terhadap  pelayanan publik yang diperuntukan mengarah pada penegak serta pemilik kebijakan. Namun bukan berarti kehadiran dari kelompok sosial tersebutpun lepas dari pengamatan mata elang sang pencari keluasan hasanah keadilan, kelompok-kelompok sosial tersebut pun memainkan perannya untuk berusaha mentransferkan pemahamnnya kepada khalayak umum yang disebutkan dengan istilah propaganda idiologi.
Propaganda idiologi tercipta menurut penulis tertuang dalam beragam aktivitas kelompok sosial. Ungkapan ini muncul bukan semata-mata karena kesinisan penulis dalam menyaksikan berbagai geliat dari kolompok sosial. Hal ini mesti dipahami sebagai bentuk penghayatan atas fenomena yang kemudian oleh penulis berusaha untuk dituangkan dalam aliran argumennya. Bagiku, propaganda idiologi tertuang dalam katogori terbuka dan tertutup, dengan maksud bahwa dikatakan tertutup ditekankan pada masyarakat luas yang masih menganggap kejadian demi kejadian sebagai suatu peristiwa apa adanya serta dirasa sebagai kewajaran semata. Tetapi bagi mereka yang terbungkus dalam balutan penggerak dari kelompok sosial tersebut kusebutkan sebagai penikmat dari propaganda idiologi terbuka.
Tentu naif rasanya manakala tidak menyadari kearah sana-penciptaan idiologi melalui propaganda. Hal ini masuk dalam ketegori bebas nilai antara salah benar, hanya saja tindakan tersebut menjadi salah satu contoh kongkrit dari proses penerapan hegemoni untuk mencapai suatu tujuan. Kuatnya iklim politik suara mayoritas sebagai penguasa dijadikan sebagai batasan untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan retting semaksimal mungkin, maka upaya penguasaan melalui propaganda dijadikan sebagai ikhtiar mencapai konsensus bersama. Maka dalam hal ini-Red propaganda idiologi tertutup, akan dijadikan sebagai modal utama untuk menciptakan hegemoni. Kekhawatirannya nanti akibat dari propaganda idiologi tertutup tersebut akan membawa pada kesadaran palsu dimana masyarakat hanya akan terpilin-pilin pola pikirnya dan terbawa kedalam jebakan yang disuguhkan oleh kelompok sosial tertentu. Alhasil sistem demokrasipun mengalami bias makna hanya terpaku pada menguatnya pungutan suara mayoritas. 
Bukan berarti hegemoni-kontra hegemoni tidak dibenarkan untuk mencapai suatu tujuan. Tulisan ini hanya sebagai bahan renungan besama bahwa konsepsi jabatan jangan sampai dijadikan sebagai tujuan final sehingga hegemoni hanya dijadikan sebagai strategi pemasaran untuk memenangkan pilkada yang dalam waktu dekat akan dimeriahkan secara serentak. Sehingga upaya hegemoni itu selesai setelah ‘mendapatkan’ atau ‘gagal dalam mendapatkan’ tetapi mesti berjalan terus untuk menciptakan kesepakatan serta menjaga kesepakatan yang tidak memihak pada kelompok tertentu melainkan mesti sejalan dalam menciptakan keharmonisan serta kesejahteraan masyarakat sebagaimana peran dari intelektual organik untuk mengarahkan agar bisa sejalan dan berjalan bersama. Dengan begitu, pesta demokrasi ini akan menciptakan sosok pro-rakyat karena terlahir dari jeritan tangis rakyat, bukan hanya melahirkan rezim baru sementara masih menciptakan stok lama, yakni penindasan terhadap rakyat.