Kopi
hitam tertuang dalam cangkir yang terbalut oleh variasi warna bertemakan
kebahagian atas kebersamaan. Racikan kopi yang tertuang pun mengeluarkan aroma
kenikmatan merasuk kedalam indra pencium menyisakan rasa penasaran untuk
berusaha mencicipinya. Meski terbilang sebagai penikmat kopi amatir karena
belum terbiasa, namun sejatinya manusia dirasa manusiawi manakala mencium aroma
nikmat yang khas ditimbulkan dari seduhan kopi menggugah selera untuk segera
mencicipi citarasa yang akan ditimbulkan darinya. Rasa kopipun meledak sejak seruputan awal bak bom atom yang diledakan
ditengah kota menyapu segala atribut serta beragam kehidupan didalamnya alhasil
seruputan demi seruputan pun terus melaju tak mau tertinggal setetespun dalam cup yang tersedia dimeja. Kenikmatan
dari kopi hitam yang dihidangkan ini, kunikmati dalam kesunyian, terlihat jelas
dalam layar pemutar waktu menunjukan tengah malam. Kesunyian memberikan sejuta
imajinasi berseliweran dalam angan,
agar momen ini tak hilang kan kutuangkan dalam lembaran kosong. Lembaran itupun
dimulai dari ungkapan sederhana atas berbagai fenomena dilingkungan sekitar
yang menyebar belakangan ini.
Aku
menyaksikan geliat kelompok sosial berkeliaran dibeberapa daerah. Mereka mengatas
namakan kelompok tersebut dengan sebutan gerakan atau semacamnya. Mereka ada tersebar
berseliweran diberbagai daerah, kemudian menciptakan peradaban bertemakan semi sentralisasi dikemudikan oleh
wacana tunggal mengorganisasi berbagai kelompoknya – karena memang memiliki strata
tersendiri dalam permainannya. Kelompok tersebut bersifat multikulturalism masuk dalam kategori lingkaran besar. Kemunculannya menandakan gelombang progresif
menciptakan peradaban bernilai positif disatu sisi. Fenomena tersebut terlihat sebagai
wacana baru dalam menerapkan gelombang historis dimasa perjuangan, baik
perjuangan melawan penjajah, melawan kelas penguasa dan lain-lain. Geliat itu
sepintas memberikan angin segar bak ombak dilaut luas yang menambah gairah
keindahan yang khas dari adanya pantai, karena kurang indah rasanya memandang pantai tenang tanpa
adanya ombak yang bergulung-gulung saling berkejar-kejaran.
Adanya
kelompok tersebut memberi harapan baru bagi masyarakat luas, karena eksistensi
keberadaannya menandakan kepedulian terhadap kehidupan berperadaban tinggi
khususnya menjawab tantangan pemerintah dalam menuntaskan program pembangunan yang
sering dijadikan jargon pemerintah namun sejauh ini masih ditemukan kecacatan
disana-sini. Kehadirannya sedikit berkontribusi menanggulangi kecacatan pembangunan
sekaligus memberikan jaminan awal atas ketidak percayaan masyarakat terhadap
institusi negara dalam penyelenggaraannya. Atas dasar itulah kehadiran kelompok
tersebut dapat saja menjadi brand tersediri
menjawab berbagai kekecewaan masyarakat kepada pemimpin publik yang oleh
Gramsci sebutkan atas tindakan kelompok itu dengan istilah kontra hegemoni.
Pelaku
pelaksana kebijakan memaksimalkan upayanya untuk bisa mendapatkan ‘kepercayaan’
publik sebagai imbas atas kepercayaan yang telah dibebankan kepadanya. Hanya
saja, dirasa kurang mengena bagi masyarakat atas kebijakan yang dilaksanakan karena
tidak merata sehingga rutinitas dari pembantu
masyarakat tersebut belum bisa dinikmati oleh kalangan bawah. Alhasil
memunculkan ragam geliat dikalangan bawah sebagai bentuk protes atas ketidak
meratataannya upaya yang diberikan oleh pemerintah. Proses tersebut dijadikan sebagai kontra Hegemoni, dalam artian bahwa
tindakan pengelolaan kelompok sosial yang telah mengorganisasi dan memberikan
wacana baru sebagai geliat perlawanan ketidak puasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diperuntukan mengarah
pada penegak serta pemilik kebijakan. Namun bukan berarti kehadiran dari
kelompok sosial tersebutpun lepas dari pengamatan mata elang sang pencari keluasan
hasanah keadilan, kelompok-kelompok sosial tersebut pun memainkan perannya
untuk berusaha mentransferkan pemahamnnya kepada khalayak umum yang disebutkan
dengan istilah propaganda idiologi.
Propaganda
idiologi tercipta menurut penulis tertuang dalam beragam aktivitas kelompok
sosial. Ungkapan ini muncul bukan semata-mata karena kesinisan penulis dalam
menyaksikan berbagai geliat dari kolompok sosial. Hal ini mesti dipahami
sebagai bentuk penghayatan atas fenomena yang kemudian oleh penulis berusaha untuk
dituangkan dalam aliran argumennya. Bagiku, propaganda idiologi tertuang dalam
katogori terbuka dan tertutup, dengan maksud bahwa dikatakan tertutup
ditekankan pada masyarakat luas yang masih menganggap kejadian demi kejadian
sebagai suatu peristiwa apa adanya serta dirasa sebagai kewajaran semata.
Tetapi bagi mereka yang terbungkus dalam balutan penggerak dari kelompok sosial
tersebut kusebutkan sebagai penikmat dari propaganda idiologi terbuka.
Tentu
naif rasanya manakala tidak menyadari kearah sana-penciptaan idiologi melalui
propaganda. Hal ini masuk dalam ketegori bebas nilai antara salah benar, hanya
saja tindakan tersebut menjadi salah satu contoh kongkrit dari proses penerapan
hegemoni untuk mencapai suatu tujuan. Kuatnya iklim politik suara mayoritas sebagai
penguasa dijadikan sebagai batasan untuk mencapai tujuan untuk mendapatkan retting semaksimal mungkin, maka upaya
penguasaan melalui propaganda dijadikan sebagai ikhtiar mencapai konsensus bersama. Maka dalam hal ini-Red
propaganda idiologi tertutup, akan dijadikan sebagai modal utama untuk
menciptakan hegemoni. Kekhawatirannya nanti akibat dari propaganda idiologi
tertutup tersebut akan membawa pada kesadaran palsu dimana masyarakat hanya
akan terpilin-pilin pola pikirnya dan terbawa kedalam jebakan yang disuguhkan
oleh kelompok sosial tertentu. Alhasil sistem demokrasipun mengalami bias makna
hanya terpaku pada menguatnya pungutan suara mayoritas.
Bukan berarti
hegemoni-kontra hegemoni tidak dibenarkan untuk mencapai suatu tujuan. Tulisan
ini hanya sebagai bahan renungan besama bahwa konsepsi jabatan jangan sampai
dijadikan sebagai tujuan final sehingga hegemoni hanya dijadikan sebagai
strategi pemasaran untuk memenangkan pilkada yang dalam waktu dekat akan
dimeriahkan secara serentak. Sehingga upaya hegemoni itu selesai setelah
‘mendapatkan’ atau ‘gagal dalam mendapatkan’ tetapi mesti berjalan terus untuk
menciptakan kesepakatan serta menjaga kesepakatan yang tidak memihak pada
kelompok tertentu melainkan mesti sejalan dalam menciptakan keharmonisan serta
kesejahteraan masyarakat sebagaimana peran dari intelektual organik untuk
mengarahkan agar bisa sejalan dan berjalan bersama. Dengan begitu, pesta
demokrasi ini akan menciptakan sosok pro-rakyat karena terlahir dari jeritan
tangis rakyat, bukan hanya melahirkan rezim baru sementara masih menciptakan
stok lama, yakni penindasan terhadap rakyat.