Cari Berita/Artikel :

Elastisitas Makna Sehat

Oleh : Zezen Zaenudin Ali

Gencarnya media yang terus menyuarakan tentang pentingnya kesehatan menjadi bahan perbincangan. Satu sisi hal itu menjadi projek pemerintah dalam membangun iklim baru menciptakan pola penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya mengetahui makna kesehatan, bagaimana memperolehnya dan menjaganya agar tercipta kesehatan optimal di lingkungan masyarakat. Sebuah kata mutiara pun turut meramaikan dari tema besar  kesehatan, yakni “didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Secara intrinsik dapat ditemukan bahwa ungkapan tersebut menyuarakan pernyataan pentingnya memahami tema besar dari kesehatan.
Dalam pemahaman penulis, sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi fisik, emosi, sosial dan spiritual. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu diartikan bahwa suatu keadaan sempurna baik secara fisik, mental dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Maka definisi dari WHO tersebut  tentang sehat mempunyai karakteristik yang dapat meningkatkan konsep sehat yang positif.
UU No. 23 tahun 1992 menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik, mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa merupakan bagian integral tak terpisahkan dalam ruang lingkup kesehatan. Adapun kategori produktif dalam pemaknaan sehat dapat saja memunculakan persoalan baru manakala pemahaman itu masih digunakan saat ini, karena masih banyak usia produktif namun tidak produktif entah dalam batasan sosial maupun ekonomi, penafsiran kesehatan dalam undang-undang tersebut dapat saja diselewengkan manakala menemukan sekumpulan pribadi yang kurang produktif tersebut  dapat saja disebut kurang waras.
Pengertian paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya. Dari pengertian ini terlihat keluasan pemaknaan terhadap sehat, pemaknaan itu pun akan terus berkembang atau bahan akan sampai mereduksinya sesuai perkembangan zaman. Namun meski demikian kita harus menyadarinya bahwa konsep dari dikotomi sakit-sehat dalam istilah kesehatan senantiasa berubah sejalan dengan pengalaman tentang nilai, peran penghargaan serta pemahaman terhadap kesehatan. Seperti dimulainya pada masa zaman keemasan Yunani yang menyatakan kesehatan sebagai sesuatu kemanfaatan sedangkan sakit sesuatu yang kurang bermanfaat.
Filosofi yang berkembang pada saat ini adalah filosofi Cartesian yang berorientasi pada kesehatan fisik semata-mata yang menyatakan bahwa seseorang disebut sehat bila tidak ditemukan disfungsi alat tubuh. Mental dan roh bukan lagi menjadi urusan dokter-dokter melainkan urusan agama. Agama dalam hal ini mendapatkan perhatian khusus kaitannya dengan pengembangan manusia dalam hal ruh, sehingga posisi tersebut kadangkala menjadi posisi empuk dan rentan penyelewengan yang dilakukan oleh kaum agamawan tak bertanggungjawab. Hal ini menjadi cerminan bahwa terjadi peralihan nilai pemahaman atas makna serta pengklasifikasian dari definisi sehat.  
Kemudian setelah ditemukan kuman penyebab penyakit batasan sehat pun juga berubah. Seseorang dikatakan sehat apabila setelah diadakan pemeriksaan secara seksama tidak ditemukan penyebab penyakit. Ini menjadi batasan atas pengaruh pengetahuan yang mencampuri di dalamnya, bahwa segala sesuatu dapat diukur melalui satuan khusus. Sebagai pengembangan dari pengetahuan ditemukannya berbagai alat yang memberikan dukungan didunia kesehatan kekayaan intelektual serta pemahaman makna pun berubah menyesuaikan dengan peran serta pengkajiannya.
Pada tahun limapuluhan definisi sehat menurut WHO pun mengalami perubahan seperti yang dimunculkan dalam undang-undang kesehatan RI No. 23 tahun 1992 bahwa didalamnya telah disusupkan unsur produktif sosial dan ekonomi. Kemudian definisi terkini pun seperti yang dianut oleh beberapa negara maju sekelas Canada mengutamakan konsep pemahaman sehat produktif. Karenanya tak heran manakala dimunculkan istilah sehat merupakan sarana atau alat untuk hidup sehari-hari secara produktif.  Berjalannya waktu pada tahun tujuhpuluhan penemuan makna dalam konsep sehat serta makna indevenden dimunculkan sebagai pegangan ahli kesehatan masyarakat baru, karenanya sejak saat itu dikatakan sebagai era baru dunia kesehatan.
Sejarah ini tidak bisa dipungkiri kebenaranya. Seutas tali pengikat untuk mengungkap pemaknaan dari masa ke masa selalu berubah sesuai kebutuhan dan penemuan.  Tidak lantas mesti jengah melihat fenomena ini, karenanya mesti dilakukan pembedahan dari arah yang ingin dimunculkan oleh platform kesehatan dimasa ini.  Awal tahun 2008-an penulis merasakan atmosfir dunia kesehatan yang cukup bombastis dalam dunia akademik, generasi muda bermimpi untuk terlibat aktif didalamnya masuk difakultas kedokteran meskipun biaya pendidikannya melangit. Terlepas dari apakah semua itu dilakukan sebagai pengabdian untuk masyarakat atau hanya sebatas jalan untuk bertahan hidup dalam tataran ekonomi. Disaat biaya kesehatan yang melonjak dari tahun ketahunnya upaya pengabdian meredup dalam tataran sosial, karena hilang nilai kemanusiaan untuk berbagi kepada masyarakat kalangan bawah. Meskipun upaya penyadaran terus dilakukan dengan memakai beragam warna namun manakala masih ditemukannya image mahalnya dunia kesehatan tentu keengganan masyarakat untuk menyentuhnya akan terus terpupuk subur dalam benak fikiran. Maka mempertahankan kondisi badan tetap bugar agar  selalu produktif merupakan pilihan.