Oleh : Rahmat Nuriyansyah
Berbicara pepndidikan,
pendidikan itu milik siapa? apa yang hakiki dalam sebuah
pendidikan? kenapa pendidikan menjadi fatsun peradaban? kenapa anak kaum buruh,
petani, nelayan dan kaum miskin kota sampai hari ini belum bisa mendapatkan
pendidikan yang layak? apakah
sejatinya pendidikan harus dibayar dengan uang ataukah
pendidikan hanya sebagai alat?
Pendidikan semakin
menjadi sesuatu yang mahal di Indonesia. dari tahun ke tahun, biaya pendidikan
terus merangkak naik, sehingga menyebabkan banyaknya peserta didik dari
kalangan menengah ke bawah harus tersingkir dari dunia pendidikan. kampus yang
merupakan tempat dimana regenerasi anak bangsa berkumpul untuk meneruskan
estafet dari para pendahulu kini telah diprivatisasi oleh pemerintah,
representase dari kemajuan bangsa yang ini mampunyai
pemerintah dalam mengelola pendidikan agar dapat berkwalitas dan berdaya saing
dengan bangsa-bangsa lainnya. wajah pendidikan di Indonesia tidak bisa kita lihat dari “Sebelah
Mata” saja, banyaknya kampus-kampus diperkotaan yang berstandarkan
internasional serta memiliki fasilitas dan Infrastuktur yang mewah dan canggih
bukanlah tolak ukur dalam kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. situasi ini
menjelaskan, meskipun konstitusi mengharuskan negara haruslah mencerdaskan
kehidupan bangsa, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar para
anak-anak dari kaum kelas bawah tidak bisa mengakses pendidikan di tingkatan
universitas.
Di sinilah letak
permasalahannya : Melalui Kemendikbud No.49 tahun 2014 tentang Standar
Pendidikan Nasional , negara Indonesia telah melegitimasi praktik kebijakan
neoliberalisme di sektor pendidikan, atau dengan kata lain, membiarkan
pelayanan pendidikan di tingkatan Universitas diselenggarakan menurut mekanisme
pasar. di sini, neoliberalisme telah memperdagangkan/menjual-belikan
pengetahuan. Akibatnya, semakin (dianggap) berkualitas dan bermutu sebuah
pengetahuan, maka harga jualnya pun akan sangat mahal, tidak mengherankan pula
jika jurusan-jurasan favorit, semisal kedokteran dan teknik, dihargai dengan
bayaran yang sangat mahal. Dalam alam neoliberalisme, negara tidak lagi
bertanggung-jawab dalam memenuhi semua kebutuhan sosial masyarakat, termasuk
sector pendidikan. Tugas tersebut telah diberikan kepada otonomi kampus dan
mahasiswa. Orang tualah yang harus “Banting
Tulang” untuk mencari biaya kuliah untuk anak-anaknya. Maka jika kita sandarkan
hitungnya kepada pendapatan upah kerja para kaum Buruh, Petani, Nelayan dan
Kaum Miskin Kota jawabannya tidak akan sesuai nominal pendapatan upah untuk
membiayai anak mereka dalam menempuh pendidikan ketingkatan Universitas,
sedangkan Rata-rata Upah Minimum (UMR) Indonesia di 34 provinsi yang dilansir
pada website Menteri Perindustrian Indonesia saat ini sebesar Rp. 673.261 atau terbilang
“enam ratus tujuh puluh tiga ribu dua ratus enam puluh satu rupiah”, jika kita
sandarkan lagi pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ditengah situasi kebutuhan
bahan-bahan pokok yang melambung tinggi pasca Rezim Joko Widodo menaikkan harga
BBM Jenis Premium dan Solar maka cita-cita dari negara Indonesia untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa hanyalah dinikmati oleh kaum borjuasi dan Anak
dari kalangan Elite.
Situasi neoliberalisme inilah yang kami sebut dengan model penjajahan
modern yang dilakukan oleh pemerintah hari ini, dimana anak-anak dari kaum
Kelas bawah tidak bisa menempuh pendidikan yang berkualitas dan pemerintah
semakin hari semakin membuka diri bagi bangsa Kapitaslis-Imprealisme untuk
“mencicipi” bangsa Indonesia disemua sector salah satunya sector pendidikan.
dan hal-hal itulah yg membuat stagnanisasi pendidikan dibangsa kita. Harapan penulis, semoga dihari pendidikan ini
Bangsa Indonesia mampu melahirkan sosok Tuan Guru yang mampu merestorisasi peradaban dan mencapai pendidikan yang hakiki.