Cari Berita/Artikel :

Indonesia Pascareformasi

Indonesia Pasca Revormasi
Indonesia Pasca Revormasi
Oleh : Zezen el-Equilibrium

Setengah abad lebih Indonesia merdeka. Tepatnya 70 tahun usia negeri ini sejak gaungan sang proklamator tersebar keberbagai penjuru negeri ini memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Manakala depersonifikasikan dengan gambaran kehidupan manusia merupakan usia lanjut bagi kehidupan manusia sewajarnya di masa ini. Kematangan fikir manusia di usia lanjut seperti ini telah sewajarnya menjadi panutan bagi anak dan keturunannya serta menjadi panutan bagi keluarga dan lingkungannya namun tak jarang juga ditemukan insan manusia pada usia senja ini mendekati kearah back to children-seperti polapikir anak-anak lebih tepatnya dibahasakan dengan keadaan pikun.


Pada usia senja mendera memang tidak jarang ditemukan mengalami bias dalam berbagai hal menimpa padanya, seperti penglihatan, pendengaran, perasaan bahkan pikirannya pun tak lepas dari gerayang ‘penyakit' usia senja. Maka sering mendengar orang membicarakan masa pikun merupakan cerminan kembali pada kedaan sewaktu masa anak-anak. Maka adat ketimuran menganjurkan kepada keturunannya untuk memperhatikan keadaan keluarganya yang telah mencapai usia lanjut tersebut agar tetap terjaga keselamatannya sebagai bentuk pengabdian.


Fenomena ketimuran menjadi kontra epistemologi modern yang menyuarakan realitas manusia tercipta dalam aktifitas bekerjanya atau manusia produktif maka menganggap manusia tak produktif tidak perlu dipertahankan pun muncul, namun kearifan ketimuran mengharuskan menjaga manusia-manusia usia lanjut sebagai bentuk dari rasa menghormati dan taat kepada orang yang lebih tua. Sejalan dengan itu (red adat ketimuran) sebagai kontra epistemologi dalam bentuk perhormatannya bukan hanya karena anjuran kebiasaan semata, jauh dari pada itu pun juga adanya perintah mengambil ibrah- pelajaran darinya karena telah banyak makan garam, dimana sejarah hidupnya dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi anak dan keturunannya agar dapat menyongsong masa depan dengan kegagahan nan nyata. Maka perlindungan itu tak hanya lepas sebatas dari pemahaman menghormati semata, namun tersimpan pelajaran nan berharga.



Kaitan dengan usia suatu negara yang telah mencapai setengah abad ini fenomena kelesuan pun mulai terlihat. Padahal dalam perjalanannya, semenjak disambutnya kemerdekaan dengan penuh kebahagiaan juga pengorbanan yang tidak bisa terhitung jumlahnya, karena melewati kucuran keringat bahkan darahpun ditumpahkan demi kemerdekaan untuk keturunan bangsa Indonesia di masa mendatang.  Cita-cita besar tentu tergantung oleh para pendiri bangsa agar kelak 50 sampai 100 tahun pasca merdeka, negeri nan kaya dapat berdiri kokoh dan mendapat simpati serta penghormatan dari bangsa lain. Lalu bagaimana tanggapan para pendiri bangsa yang telah berjuang hingga mengucurkan darahnya demi kemakmuran dan kesejahtraan bangsa manakala mengetahui para pelanjutnya hanya berebut kedudukan, jabatan hingga lupa dengan cita-cita besar para pendiri.


Maka pantas sajalah manakala penyakit usia senja tengah mendera pada tubuh negeri ini. Kelesuan itupun begitu nampak jelas dalam berbagai hal, dimana birokrasi masih tumpang tindih, aturan-aturan dari pasal demi pasal belum terlihat kekompakannya dalam menegakkan keadilan, ditemukannya aparat negara  yang terjaring kasus demi kasus. Mungkinkah akan beralih dengan masa yang baru, rezim baru dengan falsafah baru juga?. Dimana Pacasila akan tergantikan dengan Pancagila, dari setiap pointnya merefresentasikan keadaan birokrat di negeri saat ini, seperti: 

1.Keuangan yang Maha Kuasa,
2.Korupsi yang Adil dan Merata,
3.Persatuan Mafia Hukum Indonesia,
4.Kekuasaan yang dipimpin oleh Nafsu Kebejatan dalam Persekongkolan dan Kebohongan,
5.Kesejahteraan Sosial bagi seluruh keluarga Pejabat dan Wakil Rakyat.



Tidak bisa dipungkiri adanya penggerogotan idiologi yang telah dibangun oleh para founding father di negeri ini. Keberadaannya begitu nyata bahkan dengan tanpa diberikannya aling-aling- hijab atau sejenisnya. Dan negara belum mampu memberikan gambaran untuk mengamankan demi terciptanya kesatuan republik ini. Apakah negara mulai panik dengan aturan ciptaannya yang membebaskan keberadaan komunitas yang telah jelas-jelas melawan negara, atau begitu kuatkah komunitas tersebut melebarkan sayapnya hingga negara bungkam dibuatnya. Tentu keberadaannya dapat memporakporandakan idiologi resmi negara, keberadaannya sudah semestinya menjadi bayang-bayang yang menghantui keamanan serta keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) manakala tidak segera diatasi.


Berbeda pandangannya dilain sisi, dimana kebencianpun begitu kuat tertanam oleh rezim paling lama menguasai negeri ini diarahkan kepada pencetus dan anggota serta keluarga dari Partai Komunis Indonesia (PKI) bahkan hingga kini kebencian terhadapnya masih terus mengakar dan terus dipupuk oleh aparat yang katanya diakui sebagai penegak keamanan. Keberadaan mereka mewarnai dunia perpolitikan nusantara, bahkan gagasannya mampu menggoyahkan hingga terjadi perang saudara. Terhadap yang kedua ini negara begitu takut menghadapinya, hingga melarang setiap simbol yang mengarah pada keberadaan palu dan arit bangkit kembali dikarenakan berbeda haluan dan diklaim dapat mengancam keamanan negara. Namun kenapa mereka yang jelas menentang idiologi negara masih langgeng bertebaran hingga kedaerah-daerah?


Maka mempertahankan kelanjutan NKRI menjadi pilihan, selain dari bentuk penghormatan dan serat ibrah atas upaya perjuangan merebut kemerdekaan juga menjadi cerminan dari keluasan fikir negara yang telah berumur senja ini. Ke-Merdeka-an telah diakui oleh bangsa lain maka menjadi keniscayaan untuk memerdekakan bangsanya maka perkuatlah agar kedewasaan negeri ini dapat dinikmati oleh setiap warganya.