Oleh : Bontot
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa Mahasiswa
selalu ambil bagian untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini dapat dilihat
dari sejak masa penjajahan Belanda dimana para Mahasiswa yang belajar di STOVIA
mempelopori gerakan yang berhasil mengubah keadaan bangsa ini yang jatuh pada
kemiskinan dan penjajahan diubahnya pada kondisi yang lebih beradab dan
merdeka. Dalam hal ini, pergerakan mahasiswa tidak hanya diartikan dengan
pemahaman sempit dan dangkal yang merujuk pada gerakan berunjuk rasa dan
membuat kerusuhan di jalan-jalan. Akan tetapi lebih pada gerakan mahasiswa yang
berpartisipasi aktif dalam proses perubahan tatanan sosial-politik yang lebih
adil. Hal ini mengarah pada pemahaman pergerakan Mahasiswa sebagai komunitas
sosial yang menjadi “lakon” pergerakan perubahan yang bersifat
progresif-revolusioner di bidang sosial-politik.
Terlontar pemikiran bahwa Mahasiswa sebagai ujung
tombak perubahan sistem sosial-politik. Pemikiran ini berlandaskan pada pemahaman
bahwa Mahasiswa merupakan komunitas yang lebih maju yang didalamnya terdapat
orang yang mengenyam pendidikan tinggi (intelektual muda) dibanding dengan
komunitas yang lain di masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai orang yang lebih
tahu, lebih banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu, wajib
untuk menentukan sikap terkait keadaan, baik mengubahnya atau memperbaikinya.
Artinya Mahasiswa harus aktif dalam proses perubahan keadaan yang ada di
masyarakat. Dari pemahaman ini, bisa dikatakan Mahasiswa sebagai komunitas yang
lebih maju di masyarakat harus lebih cepat merespon permasalahan kesenjangan
sosial-poliik yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan secara struktural
yang dialami oleh masyarakat. Tentunya politik yang diperjuangkan oleh
Mahasiswa adalah Politik Nilai (nilai kemanusiaan, keadilan dll) bukan Politik
mencari kekuasaan. Pergerakan Mahasiswa mulai muncul pasca kemerdekaan di era
1960an. Organisasi mahasiswa yang berdiri ketika itu misalnya, Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).
Dari sinilah perlahan-lahan gerakan mahasiwa
mulai tampil kritis, terlepas dari tidak adanya parpol yang menaungi mereka.
Disini pergerakan-pergerakan Mahasiswa gencar melakukan kritik terhadap
pemerintahan Orde Lama terkait keadaan ekonomi masyarakat. Pasca peristiwa ini
gerakan mahasiswa semakin menguat. Ini bisa dilihat dari terbentuknya KAMI yang
mengusung Tritura dimana mahasiswa cenderung melekat kepada militer (AD) (dalam
Adi Surya Culla, 1999).
Memasuki pertengahan tahun 1970-an, gerakan
mahasiswa kembali bergolak. Tepatnya di tahun 1974 dan tahun 1978. Di tahun
1974 meletuslah Peritiwa Malari. Peristiwa Malari adalah gerakan pertama
mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan pembangunan Soeharto
(dalam Adi Surya Culla, 1999). Pergerakan Mahasiswa pada masa ini dengan kental
ditunjukan terhadap Kebijakan Orde Baru yang Pro terhadap Modal Asing sebagai
penjajahan baru di Indonesia terutama Jepang pada saat itu. Gerakan mahasiswa
berikutnya yaitu pada tahun 1978. Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini
muncul karena kekecewaan mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan
Soeharto serta kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari
nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan
berani mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali mencalonkan
dirinya menjadi Presiden (dalam Adi Surya Culla, 1999).
Untuk menghindari aksi-aksi berikutnya dari
mahasiswa, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan melalui SK menteri
pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang
pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk mengebiri kegiatan aktifitas politik
mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup memahami politik dalam artian teori bukan
praktek.. Pemerintah Orde Baru melakukan intervensi dalam kehidupan kampus,
dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Kebijakan ini benar-benar
menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada.
Karena setiap tindakan yang mengarah kepada
kritikan terhadap pemerintah, langsung dihadapi oleh cara-cara represif melalui
penculikan dan penembakan misterius (petrus). Alasannya, hal itu dapat
menggganggu stabilitas keamanan. Kebijakan ini sebagai bagian dari upaya
depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa. Mahasiswa dilarang
berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik, kebebasan
intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada organisasi-organisasi
mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara berpikir bagi semua
civitasnya.
Gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan
NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh
Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika
mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi
politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun
waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas
mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang
tinggi. Aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan
politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan
kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran.
Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan
tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh
efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun hingga
sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa.
Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan
semakin terasing dari lingkungannya. Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi
di tingkatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik, berbangku
kuliah lagi, belajar ke luar negeri, membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah
ada ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rezim dan sebagainya.
NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil mengemis
reformasi ekonomi-politik pada rezim diktator/korup, bahkan ada yang masih
bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa. Disini Mahasiswa
“digiring masuk kandang (kampus)” agar tidak membuat risih Pemerintah. Mungkin
saat ini kita sendiri menyaksikan tanpa adanya Neo-NKK/BKK (NKK/BKK baru)
aktivitas heroik Mahasiswa sudah sendirinya mati, keracunan bahkan overdosis
serta terpenjara dalam kampus sampai membusuk tua. Di era Reformasi saat ini,
yang menjunjung tinggi Demokrasi tentunya kabijakan NKK/BKK melanggar UU Hak
Asasi Manusia terkait Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berfikir,
berekspresi, dan berkeyakinan politik. Bahkan melanggar Kebebasan Akademik
dalam UU SISDIKNAS. Tak bisa dipungkiri, kepeloporan gerakan mahasiswa telah
menggoreskan banyak catatan-catatan gerakan pembaharuan.
Di belahan bumi manapun, mahasiswa selalu tampil
pada garda terdepan dalam mendorong perubahan. Sikap kritis dan kepedulian
terhadap kondisi riil masyarakat terus dimiliki mahasiswa sehingga tak
segan-segan melakukan pengorbanan demi kejayaan bangsanya. Akan tetapi sistem
pendidikan kita sekarang semenjak diberlakukannya NKK/BKK menuntut seorang
mahasiswa berada pada posisi study oriented, dan rasanya posisi ini tidak
mungkin dapat ditawar-tawar lagi. Melupakan semua keresahan sosial dan
penderitaan rakyat yang dilihat dan dirasakannya. Serta bekerja keras meraih
nilai terbaik agar sebanding dengan nilai rupiah yang telah dikeluarkan untuk
membiayai ongkos kuliah yang memang ditetapkan mahal oleh penguasa.Iklim
NKK/BKK masih berlumut di dunia kampus. Sehingga sampai sekarang pergerakan
mahasiswa dianggap jauh dari memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan sosial.