Bontot |
Oleh : Bontot Ferdiaz Ardhitama
Saya merasa “sesak nafas” ketika ada orang yang menganggap pancasila
dan UUD 1945 identik dengan tentara dan Orde baru. Seolah-olah, seperti
anggapan mereka itu, memperjuangkan pancasila dan UUD 1945 dianggap
memperjuangkan “kepentingan tentara”.Saya jelas tidak setuju
dengan asumsi itu. Parahnya, pandangan semacam itu juga menghinggapi
orang-orang yang menyebut dirinya “progressif” dan “revolusioner”. Padahal,
di masa lalu, kutub progressif dan anti-imperialis justru
mempersenjatai diri dengan Pancasila dan UUD 1945 untuk melawan
liberalisme dan imperialisme.
Saya tetap menganggap bahwa pada
bulan Agustus 1945 telah terjadi revolusi: proses menghilangkan yang
lama dan mengadakan yang baru. Yang dihilangkan adalah kolonialisme
dalam segala bentuknya, sedangkan yang dibangun adalah negara
“Indonesia” merdeka sepenuh-penuhnya.
Kemerdekaan itu sendiri, dikatakan Bung Karno, barulah sebatas “jembatan emas” menuju
cita-cita lebih tinggi: masyarakat adil dan makmur (sosialisme Indonesia
atau apalah). Nah, dalam proses mencapai cita-cita nasional itulah
setiap bangsa perlu dilengkapi “pegangan hidup”.
Saya kira Bung
Karno benar ketika mengatakan, “proklamasi itu barulah sebatas 'pemberitahuan' bahwa kita sudah merdeka”. Kita merdeka untuk apa dan
hendak menuju kemana, belum dituliskan dengan lengkap didalam
proklamasi yang hanya ditulis dengan 250 huruf itu.
Oleh karena
itu, sehari setelah proklamasi kemerdekaan itu, disusunlah Undang-Undang
Dasar 1945. Hebatnya, UUD 1945 dibuka dengan kalimat pembukaan dengan menegaskan kemerdekaan Indonesia dan tujuan nasional Indonesia.
Dengan demikian, UUD 1945 adalah "bagian tak terpisahkan” dari
proklamasi kemerdekaan.
Yang lebih penting lagi, karena
dilahirkan oleh revolusi nasional Indonesia, maka UUD 1945 itu memiliki
kandungan dan semangat yang sangat anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme. Ia menjadi pegangan hidup dan sekaligus pedoman
berjalannya revolusi Indonesia. Dan karena itulah, Bung Karno menamai
momentum kembalinya UUD 1945 pada tahun 1959 sebagai “penemuan kembali
revolusi kita”.
Singkat kata, karena Pancasila dan UUD 1945 juga
anak kandung revolusi Agustus, revolusi nasional-nya bangsa Indonesia,
maka Pancasila dan UUD 1945 adalah milik dan pegangan hidup seluruh
bangsa Indonesia (di masa lalu, sekarang, di masa depan).
Maka
aneh jika orang menganggap Pancasila dan UUD 1945, yang jelas-jelas anak
kandung dari revolusi Indonesia, sebagai kepunyaan tentara atau orde
baru. Saya kira pendangan itu sangat keliru dan “terpeleset” dalam
membaca sejarah revolusi Indonesia.
Keterpelesetan itu
diasumsikan bersumber dari cara melihat rejim Orde Baru dan produk-produk
sistemiknya. Mereka mengira, karena Orde Baru sangat getol berbicara UUD
“pengamalan Pancasila dan UUD 1945”, maka kedua anak kandung revolusi Agustus itu dianggap identik dengan orde baru.
Sudah jelas
seperti saya ungkapkan di atas: Pancasila dan UUD 1945 bukanlah produk Orde Baru, melainkan produk dari revolusi agustus 1945. Orde Baru hanya
menggunakan pancasila dan UUD 1945, berikut cara mereka menafsirkannya,
sebagai tameng untuk melegitimasi kekuasaan otoriter mereka.
Pada
masa Orde Baru, kata “revolusi Agustus” atau “revolusi Indonesia” sudah
ditanggalkan. Tampak juga usaha Orde Baru untuk melucuti semangat
anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dari Pancasila dan UUD 1945.
Saat itu, Pancasila dan UUD 1945 hanya jadi “ornamen” untuk mempercantik
rejim OrBa supaya tidak dianggap meninggalkan cita-cita
proklamasi kemerdekaan.
Mereka tidak pernah melihat, bahwa
sekalipun Pancasila dan UUD 1945 sudah berusaha dicampakkan sedemikian
rupa tetapi tetap saja penting dan dibutuhkan. Lihatlah bagaimana orang
membutuhkan Pancasila ketika kebhinekaan terancam oleh fundamentalisme
dan egosentrisme. Lihat pula bagaimana UUD 1945 dianggap sebagai
penghalang liberalisme dan kebijakan ekonomi neoliberal, sehingga
menjadi target pertama untuk “diobrak-abrik (bahasa halusnya:
diamandemen).
Mereka melihat proses OrBa mengambil-alih
pancasila dan UUD 1945 seperti kisah Rahwana menculik Sinta. Sehingga,
ketika pancasila dan UUD 1945 berhasil dibebaskan dari OrBa,
sebagian orang (termasuk orang-orang itu) mempertanyakan kesucian dan
kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Mereka berlaku tidak adil
ketika mengambil pelajaran dari sejarah: mereka hanya mendengar kisah
kemenangan, lalu membuang jauh-jauh kisah kekalahan. Soekarno, juga
gagasan-gagasan revolusinya, dianggap telah gagal. Maka teori-teorinya
pun ditinggalkan dan tercampakkan. Terjadi semacam “krisis teori”
di kalangan aktivis gerakan Indonesia. Hampir tidak ditemukan sebuah
studi intensif dari para aktivis pergerakan mengenai sejarah revolusi
Indonesia, karakteristik masyarakatnya, dan realitas baru saat ini.
Lebih parah lagi, sudah menjadi kecenderungan aktivis pergerakan
membaca sejarah revolusi Indonesia hanya dengan menumpang analisa dan
kesimpulan penulis-penulis barat yang cenderung akademis. Kita
membutuhkan Pancasila dan UUD 1945 kembali. Akan tetapi, karena
pancasila dan UUD 1945 anak kandung revolusi, kita harus menolak setiap
upaya menjadikan pancasila sebagai doktrin kaku dan dikultuskan.
Pancasila dan UUD 1945 harus tetap mengikuti hukumnya revolusi: dinamik,
dialektik, dan bergerak maju.