Cari Berita/Artikel :

Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian Indonesia

Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian Indonesia
Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian Indonesia
Soeharto merupakan salah satu presiden yang pernah berkuasa di Indonesia, bahkan selama karirnya sebagai presiden, ia pernah menjabat selama 32 tahun. Merupakan jabatan presiden terlama dalam sejarah presiden di Indonesia. Dari masa yang terbilang lama tersebut, tak sedikit membuahkan berbagai kebijakan, salah satunya kebijakan ekonomi-politik. yang telah dilewati oleh bangsa Indonesia di masa Soeharto menganut system sentralisasi yang terkontrol. Selama menjalankan kebijakannya, Soeharto dibantu oleh alat negara dan alat pemerintahannya dalam melakukan control demi stabilisasi perekonomian di Indonesia. Secara konseptual seharusnya proses demokrasi politik membawa kesejahtraan melalui kebijakan public. Melalui sandaran idiologi kebijakan yang dibangun dalam cita-cita besar tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 tidaklah ditemukan keraguan pencapaian puncak dari kedua urat nadi dalam menentukan kesejahtraan, ketentraman dan kebahagiaan bangsa Indonesia. Karena dalam amanatnya seluruh kekayaan negara agar dimanfaatkan demi kesejahtraan rakyatnya.

Pasca Soeharto tumbang digantikan oleh BJ. Habibi yang terbilang hanya beberapa  tahun saja, perubahan pun belum begitu terlihat dari sector pertanian dikarenakan roda pemerintahan yang diembannya pasca Orde Baru dalam keadaan kacau balau. Akhirnya roda kepemimpinanpun cepat beralih masuk di era reformasi. Beralihnya masa, serta bergonta gantinya rezim pemerintahan, kekuasaan rakyat tidak bisa terbilang sempurna sesuai dengan amanat undang-undang, dimana ‘penjajahan’ masih terjadi baik oleh bangsa sendiri maupun penguasaan oleh bangsa lain. Akhirnya, bermunculan segelintir orang kaya raya yang berpenghasilan jauh melejit berbeda dengan kebanyakan masyarakat luas dari bangsa Indonesia yang masih tersebar di daerah-daerah yang hanya mendapatkan penghasilan tidak lebih dari satu sampai dua piring makan siang. Mencuatnya berbagai perdebatan mengenai neoliberalisme tidak dapat lagi dipisahkan dari apa yang selama ini dirasakan oleh para petani sebagai dampak dari berbagai kebijakan pemerintah dlam menjalankan roda kepemerintahannya.

Kemunculan kebijakan neoliberalisme ini menyisakan hutang yang  terus berlimpah atas dana pinjaman dari  dana moneter internasional (IMF) melalui intervensi pihak asing yang terus menerus memeras pengaruhnya untuk terlibat dalam pembangunan nasional di Indonesia. Berbagai perusahaan asing bercokol tumbuh subur di Indonesia melibas hangus para penghuni tanah warisan leluhur bangsa Indonesia dengaan beragam dalih dikumandangkan seolah pemerintah menjadi babu bagi  kaum penjajah, tak jauh beda yang kata orang dulu dengan para londo yang senangnya memperbudak kauk pribumi. Dimana letak dengusan Pramudya tentang bumi manusia manakala manusia-manusia pribumi telah terdepak dari rumahnya, nurani bangsa timur tidak membekas untuk mempertahankan bangsanya, karena telah tertipu oleh hingar bingar manisnya kekayaan. Hingga kini pengaruh asing masih kuat merongrong bumi nusantara, dimana para penguasa perusahaan transnasional memperoleh pengaruh kuat dari para kacung-bandit lndo dalam menjalankan peran dalam arah keberlangsungan pembangunan nasional tak jarang rela ‘menjual’nya agar sesuai dengan para pemesan.

Maka dari itu  kita tidaklah heran manakala, pemerintahan dimasa periode 2004-2009 tidak melaksanakan janji-janjinya dimasa itu untuk melakukan pembaruan agraria. Sebagai bukti sejak Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) dicanangkan pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tidak sampai terlaksana bahkan bisa saja dibilang gagal dilaksanakan. Semula, Presiden berjanji untuk membuka lahan pertanian seluas 9,25 juta hektar demi meningkatkan kesejahteraan para petani di Indonesia. Namun hingga akhir masa jabatannya, program tersebut hanyalah dijadikan sebagai media meyakinkan publik dalam janji kampanyenya tanpa ada niatan yang sungguh-sungguh dalam mewujudkannnya.

Alih-alih menunaikan janjinya untuk meredistribusikan lahan kepada rakyat, pemerintah lewat Undang-undang Penanaman Modal (UUPM) malah semakin memberikan ruang yang luas dengan meliberalisasikan penggunaan tanah kepada perusahaan-perusahaan besar baik asing maupun dalam negeri. Konsesi tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) diberikan secara membabi buta hingga bisa mencapai 95 tahun, padahal pemerintah penjajah Belanda saja hanya memberikan konsesi HGU paling lama 70 tahun. Liberalisasi di bidang pangan dan pertanian semakin menggila dengan keluarnya Inpres No. 5 tahun 2008 tentang fokus program ekonomi 2008-2009. Di dalamnya mengatur juga sejumlah konsesi untuk perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di bidang pangan dengan sekala yang luas (food estate).(lihat dalam situs serikat petani Indonesia).

Sementara itu, sektor pertanian rakyat semakin rusak. Dalam usaha tani padi, konversi lahan sawah ditemukan dimana-mana berubah total menjadi lahan non pertanian sedikitnya terjadi 10.000 hektar per tahun. Kita dapat saja melihat disekitar jalan pantura, dimana lahan tanah pertanian berubah menjadi berbagai bangunan, atau di daerah pedalaman, mulai bermunculannya perumahan-perumahan menggantikan fungsi dari lahan pertanian. Dengan demikian kepemilikan lahan para petani setiap tahunnya mengalami berbagai penurunan, saat ini kepemilikan lahan oleh petani di Jawa sekitar 0,3 hektar sedangkan di luar jawa 1,19 hektar. Belum lagi konflik agraria yang menyebabkan banyak petani di kriminalisasi dan dipenjarakan. Dalam konflik agraria setidaknya petani kecil yang tergusur dari lahan garapannya yakni sebanyak 24.257 Kepala Keluarga (KK) pada tahun 2007 meningkat jadi 31.267 KK di tahun 2008. (lihat Serikat Tani Indonesia).

Begitupun dimasa kampanyenya kepemimpinan 2014-2019 kemarin, dimana calon pemimpin yang saat ini terpilih pernah menyuarakan suasembada pangan. Dalam kampanyenya akan membuka berhektar-hektar lahan pertanian serta akan dibangunnya beberapa waduk diberbagai daerah. Semuanya mencita-citakan keberlangsungan pertanian dalam negeri dalam jangka panjang, namun semua itu seolah menyisakan beragam tanya, mulai dari pembukaan waduk jati gedhe, sampai pembukaan bandara di Majalengka serat meninggalkan berbagai persoalan agraria. lagi-lagi para pemilik lahan pertanian yang menjadi korbannya, bukankah semua itu seakan menyisakan warna merah dan hitam yang tidak sejalan dengan cita-cita yang diinginkan, atau terdapat maksud lain dengan wacana jangka panjang atas maraknya tingkat pertumbuhan di wilayah Jawa (Red. Melanjutkan program transmigrasi) dengan pembukaan lahan baru. Ah... semua itu seolah menyesakkan pikir.

Secara umum, kondisi petani di berbagai daerah seperti di sekitar Pantura tidak jauh berbeda dengan kondisi para petani dalam skala nasional. Pemerintah ditingkat lokal maupun nasional belum mampu menunjukan komitmennya dalam menjaga wilayahnya agar mengutamakan pembangunan disektor  pertanian di pedesaan. Bukankah sebuah syair dari musisi yang dimiliki bangsa Indonesia menyuarakan bahwa desa adalah kekuatan ekonomi, sebagai penyokong persediaan pangan nasional. Sejauh ini situasi dan arah kebijakan masih didominasi oleh wacana-wacana elitis yang tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidup para petani dan rakyat miskin umumnya. Semuanya berdalih membangun bersama, namun kenyataannya masih belum begitu terasa oleh kalangan para petani. Wallahu a’lam.

El-Equilibrium