Cari Berita/Artikel :

Agama dan Realitas Beragama

Agama dan Realitas Beragama
Didalam buku “Imaji Cinta Halimah” terdapat lima kisah kasah dalam pergumulan agama. Kita dapat menemukan 1) “Mata Menembus Cadar” berisikan mengenai Kisah mah asiswi Indonesia di Pakistan yang hidup dalam tekanan Idiologi islamisme yang menaunginya. Ia terpaksa bercadar , menikah muda, lalu putus sekolah. Kemudian, 2). Demi Dakwah, Halalan Thayyiba menceritakan kisah seorang ustad kere yang beranjak kondang dan itu mendatangkan gejolak dan merombak hubungan rumahtangganya. Padanya muncul hasrat mendua yang tentu meninggalkan luka mengangga pada istri pertama.

Menurut penulis buku, inti dari kelima kisah dalam bukunya, terdapat pada intensitas pergumulan agama diantara tokoh-tokohnya.  Agama tidaklah didedahkan sebagai produk jadi firman dan sabda, tetapi berupa penghayatan dan pergumulan yang sengit berjibaku pada semua hal. Kemudian penulis mengajak para pembacanya untuk menghayati agama dalam konteks tempat, dan sosok yang berbeda-beda.

Dari kelima kisah yang terdapat didalam buku Ima ji Cinta Halimah, pembahasan yang ingin ditekankan hanya berlandaskan pada sub judul Mata Menembus Cadar.- yakni yang menceritakan tentang kisah mahasiswi Indonesia yang belajar di Pakistan. Dengan tokoh utamanya Farah, mahasiswi jelita bunganya mahasiswa. Gejolak keyakinan dimasa awal menghampirinya, karena perbedaan cara beragama. Latar belakang muslim Indonesia, maka ia (Farah) telah sewajarnya mengamalkan cara beragamanya dengan kebiasaan umat islam di Indonesia. Berbagai pernak pernik simbolis dalam agama tidaklah menjadi prioritas utama dan dianggap wajar adanya. Tetapi ketika berada di Pakistan, beragam kebiasaan yang dibenarkannya terlihat jauh berbeda dengan ketika berada di Indonesia.

Diawal tema ini Farah sebagai tokoh utama dalam buku. Ia di gambarkan sebagai tokoh yang mau berkompromi dengan ‘kebiasaan’ cara beragama masyarakat Pakistan. Disamping tindakan berkomprominya dilandaskan pada lebih banyaknya kuota berkomunikasi dengan komunitas yang memajang jargon islamisme-melalui halaqah. Ia (Farah), menyadari jika tidak segera menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat, berbagai kendala akan menghampirinya. Maka cadar pun ia kenakkan sebagai alat dirinya untuk terbebas dari belenggu godaan mata.

Kehidupan beragama akhir-akhir ini sering kali mendapat sorotan publik.  Baik di media, maupun ditengah lingkungan masyarakat kita. Agama merupakan satu ajaran yang didalamnya mengandung sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.

Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu merupakan penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur yang menyelimutinya, adapun dari ke 3 nya adalah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut sebagai agama (Formal).

Kemudian berdasarkan cara beragamanya kita dapat menjumpai keterangan, bahwa penghayatan cara manusia beragama dapat melalui berbagai kriteria :

1.Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.

2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.

3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.

4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

Tentu kita tak ingin seperti domba yang hanya tau rumput hijau di tempat makannya, tanpa mengetahui sebenarnya dari mana rumput itu berasal. Kita juga tak ingin hanya asal menyakini tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kita yakini itu. Janganlah karena legitimasi ‘iman’ lantas kita dengan manutnya mengikuti apa yang disebutkan oleh mereka yang mengarahkan, adakalanya kita harus mengetahui apa sebenarnya yang sedang diarahkannya itu. Saya kira takan berdosa jikalau kita ingin mengetahui sesuatu yang belum pernah kita ketahui, bahkan dalam hal mustahil sekalipun, sebagai mana ajakan Tuhan untuk selalu memikirkan apa yang belum pernah kita ketahui.