Cari Berita/Artikel :

Islam: Ramadhan, masjid dan Bu Saeni

Islam merupakan kata yang bermakna sebuah ajaran. Bentuk formal dari ajaraannya disebutkan dengan agama. Legitimasi dari sebuah ajarannya, didapatkan melalui risalah kitab suci serta lahirnya utusan. Jauh hari dari zaman digital ini, kelahiran utusan serta turunnya risalah Tuhan melaluinya, telah ‘sempurna’ sebagai syarat dari ke’formal’an sebuah ajaran. Islam menjadi corong ajaran ketauladanan yang sekaligus dicerminkan oleh utusan. Para penganutnya menyebutkan dirinya sebagai kaum muslim. 

Salah satu ajaran yang diterangkan dalam kitab sucinya adalah perintah menjalankan kewajiban ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ketegasan dari perintahnya termaktub dalam surah al-Baqarah 183. Bermula dari ringkasan perintah Tuhan, bahwasanya lahirnya utusan ini menjadi tombak akhir dari pembawa risalah Tuhan, termasuk ajarannya merupakan rangkuman dari risalah-risalah sebelumnya yang telah diturunkan Tuhan. Dan puasa pun termasuk perintah-Nya yang bahkan sudah diturunkan jauh sebelum utusan “Padang Pasir” ini dilahirkan.

Akhirnya legalitasnya pun tersebar kepenjuru dunia. Bahkan sejarah pernah mencatatnya bahwa sepertiga dunia pernah di’kuasai’nya. Penguasaan ini membantu proses penyebaran hingga sampai kedaratan nusantara. Kuatnya risalah hingga sejauh ini, menandakan tingkatan kualitas dari para penghayatnya dalam menaburkan benih-benih ikhtisar ajaran Tuhan. Meskipun dapat dituliskan, kesalehan manusia secara naluri pertumbuhan, manakala tidak terpengaruh oleh risalah formal pun dapat mencapai tingkatan yang dibenarkan dalam risalah, karena manusia mendapatkan turunan sifat-sifat keTuhanan. 

Ramadhan menjadi media mengembalikan keorisinilan ajaran. Melaluinya, penghambaan terhadap-Nya pun meningkat derastis. Di Indonesia misalkan, negeri dengan jumlah penduduk terbesar keempat skala dunia, dengan jumlah  mayoritas penduduk penghayat dari ajarannya pun juga ajaran moral yang menghamba pada apologis ke formal-an, semacam sertifikat, surat-surat, dan perihal remeh temeh lainnya.
Dibulan ini (Red. Ramadhan) sontak secara tiba-tiba kuota penghuni masjid bertambah, menjamurnya departementstore yang disulap dengan menyuguhkan pernak pernik simbol ajaran islam, merebak program-program kemanusiaan dan program keagamaan. Tak jarang instansi-instansi baik instansi pemerintahan dan pendidikan pun saling berlomba mengekspresikan simbol Tuhan. Seolah sedang mengekspresikan kesalehan prinsip instansi, hingga lupa diri, berani memberangus para pencari ridho-Nya dari sudut pandang yang lain, semisal penutupan paksa terhadap pedagang nasi yang baru-baru ini ramai, sementara tidak berani menutup ‘warung-warung’ skala mercusuar.  Semua itu didasarkan pada ketaatan formal yang menjadi hamba bangsa ini.

Ketaatan formal yang berlebihan seperti yang telah dijelantrahkan (sebutkan) ini didasari pada kuatnya pengaruh ajaran yang menyebutkan ramadhan merupakan bulan yang diistimewakan Tuhan, sehingga hadirnya ramadhan menjadi bulan yang superior dari bulan lainnya. Para pegiat agama pun tak luput sering menyebutkan bahwa ramadhan merupakan bulannya Tuhan, sehingga kehadirannya disambut meriah bak seorang presiden yang hendak datang ke kabupaten-kota, dipersiapkanlah berbagai hal pendukungnya, mulai merias jalan hingga mengada-adakan sesuatu yang tidak ada. Semuanya agar terlihat elok dipandang Tuhan.
Kebaikan ajaran Tuhan pun dimanfaatkan oleh tuhan-tuhan dunia,untuk mendagangkan diri dengan memperelok diri, agar laku keras dipasaran. Tuhan datang di bulan ramadhan dan bersyafari dari masjid kemasjid. Mencoba mengabsen hambanya serta membagikan ‘hadiah’ bagi para pengisi masjid. Obral ‘hadiah’ pun dilancarkan Tuhan seolah Tuhan sedang berjualan dimasjid-masjid, musola-musola sehingga sampai memunculkan anggaran khusus untuk menyambut kedatangan tuhan. Tak tangung-tangung 1 M pun dianggarkan untuk membangun majid di Jawa Barat, sementara dua periode belum juga mampu mengatasi banjir di Baleendah yang kerap kali meredam kala musim hujun datang. 

Sebuah wacana yang meluhurkan simbol agama sementara penerapan kehidupan bersosialnya kerap kali terlihat nihil tak terlihat oleh kebesaran simbol yang di agungkan. Akankah aktifitas demikian terus dipertahankan?. Ramadhan mestinya dijadikan sebagai media candradimuka untuk muluhurkan kualitas hidup manusia. Melalui kebiasaan aksi kemanusiaan layaknya manusia di dunia bukan aksi kemanusiaan langitan yang mengawang-ngawang apalagi yang hanya menabur bumbu penyedap, serta pemanis buatan belaka. Manis mestinya menjadi sifat, seperti melekatnya sifat manis pada gula, bukan manis yang turun menjadi sifat yang diada-adakan seolah tingkatan religiusitasnya tinggi dihadapan manusia sesamanya. Tentu semua itu hanya akan memperlihatkan keeksotisan nisbi-patamorgana belaka, karena esensinya terkubur bahkan hanyut terbawa arus dan terlupakan.