Cari Berita/Artikel :

Kretek Bukan Rokok

Kretek Bukan Rokok
Rokok dikutip dari Wikipedia.org adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya dan aktifitasnya disebut dengan merokok.

Rokok pertama kali digunakan oleh orang-orang dari suku-suku di Amerika, seperti Indian, Maya, dan Aztec. Rokok pada awalnya berupa tembakau yang dibakar dan dihisap melalui sebuah pipa. Kegiatan ini awalnya dilakukan  pada saat berkumpunya beberapa suku untuk mempererat hubungan antar suku yang berbeda. Namun selain sebagai penguat hubungan antar suku, banyak juga yang menggunakan tembakau sebagai media pengobatan. Dan suku Indian menggunakannya sebagai media ritual terhadap dewa-dewa mereka.

Abad ke-16, saat Christoper Columbus dan rombongan nya datang ke Benua Amerika, sebagian dari mereka mencoba untuk menghisap tembakau. Dan akhirnya tertarik untuk membawa budaya menghisap tembaku ini ke benua asal mereka, yaitu Benua Eropa. Setelah budaya ini dibawa ke Eropa, ada seorang diplomat Prancis yang tertarik untuk mempopulerkannya ke seluruh Eropa. Dia lah Jean Nicot, yang kemudian namanya digunakan sebagai istilah Nikotin. Kebiasaan merokok pun muncul di kalangan bangsawan Eropa. Namun tidak seperti suku indian, yang menggunakannya untuk upacara ritual, para bangsawan Eropa menggunakannya untuk kesenangan belaka.

Kepopuleran nya yang semakin meningkat di Eropa membuat John Rolfe tertarik untuk membudidayakan tembakau dengan lebih serius. John Rolfe adalah orang pertama yang berhasil menanam tembakau dalam skala besar, yang kemudian diikuti oleh perdagangan dan pengiriman tembakau dari AS ke Eropa. Secara ilmiah, buku petunjuk bertanam tembakau pertama kali diterbitkan di Inggris pada tahun 1855.

Setelah itu, pada abad ke-17, Para pedagang dari Spanyol masuk ke Turki, yang merupakan negara Islam. Dan akhirnya kemudian kebiasaan merokok masuk ke negara-negara Islam.

Kemudian aktifitas merokok merupakan kebiasaan yang sulit dihentikan bagi yang sudah terbiasa menghisap rokok. Saat tidak merokok, serasa ada yang hilang dari kebiasaan dan itu tidak membuat nyaman. Ahli kesehatan banyak yang mengungkapkan kejadian semacam itu terjadi, dikarenakan dalam rokok terdapat kandungan nikotin yang menyebabkan keganjilan bagi para perokok manakala tidak menghisapnya.

Artikel kesehatan serta aktifis pegiat kesehatan, seringkali mensosialisasikan bahwa didalam sebatang rokok mengandung banyak racun yang siap membahayakan tubuh. Termasuk dengan peningkatan risiko tubuh untuk terkena kanker mulut.

Sebuah penelitian terbaru yang dilansir dari indiatimes.com menyebutkan bahwa mengisap rokok akan meningkatkan kemungkinan tumbuhnya bakteri di mulut yang kemudian akan melawan sistem kekebalan tubuh sehingga membuat penikmat rokok rentan terkena penyakit mulut.

"Bakteri ini kemudian akan membentuk biofilm di sebagian besar permukaan gigi, katup jantung, dan saluran pernapasan. Biofilm ini terdiri dari berbagai macam mikroba yang bisa menyebabkan radang gusi dan menimbulkan penyakit mulut yang lebih parah seperti periodontitis kronis," terang penelitian ini.

Selanjutnya penelitian ini juga mengatakan bahwa tak hanya menyerang kesehatan mulut saja, biofilm ini juga dapat terbentuk pada katup jantung dapat mengakibatkan infeksi yang berhubungan dengan jantung.

Penyegaran Cara Berfikir

Ada hal yang harus diluruskan dan perlu penyegaran pemahaman bagi para kelompok antitembakau lain mengenai Industri Hasil tembakau (IHT) atau lebih jelasnya terhadap rokok-kretek, apalagi terhadap pemahaman bahwa rokok dengan nikotinnya merupakan "mesin pembunuh", sehingga mesti "dihabisi".

Harus dipahami, bahwa yang mengandung nikotin, itu tidak hanya rokok. Sayuran seperti tomat, kembang kol, terong, dan kentang pun mengandung nikotin. Pertanyaannya, apakah kelompok antitembakau yang notabene ‘’memerangi nikotin’’ juga akan mengambil sikap sama terhadap sayur-sayuran itu?.

Lepas dari pertanyaan tersebut, studi tentang rokok (kretek) di Indonesia, sampai saat ini memang bisa dikatakan masih parsial untuk ukuran besaran dampak masalahnya, karena sering terbatas pada beberapa aspek saja.

Ironisnya, tak jarang ukuran sampelnya pun relatif kecil dan lebih bersifat hospital based research. Sampel diambil dari orang sakit yang datang ke rumah sakit. Padahal mestinya, penelitian bersifat population based research dengan sampel diambil dari populasi dengan sebaran yang mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekonomi, psikologi, kependudukan, pendidikan, gizi, iklim, kualitas lingkungan, dan lainnya yang diperlukan.

Sebagai upaya menyegarkan pemahaman dilansir dari kampoengkretek.com mengenai rokok (kretek), perlu diketahui bahwa dalam presepektif kuantum, nikotin bukanlah racun atau berbahaya bagi manusia, karena elemen pembentuk nikotin sama dengan elemen pembentuk DNA manusia.

Nikotin (C10H14N2) terbentuk dari unsur-unsur atom C, H dan N, sementara tubuh manusia sebagian terbesar juga dibangun oleh atom-atom unsur C, H, N dan O yang merupakan atom-atom pembangunan DNA.

Maka keberadaan nikotin dalam tubuh manusia, tidak merusak DNA, akan tetapi justru membersihkan DNA. Nikotin akan larut keluar dari tubuh dalam bentuk keringat dan air seni hanya dalam beberapa jam. Dengan demikian, nikotin positif bagi manusia. Tetapi pemahaman seperti ini pun tidak banyak terpublikasikan. Riset-riset tentang rokok, masih saja dilakukan dari sudut pandang yang stigmatif dan mendiskriminasi IHT.

Sudah saatnya riset tentang rokok dilakukan secara obyektif dengan melibatkan para ilmuwan yang netral dan memiliki semangat nasionalisme. Program riset seperti itu harus diinisiasi pemerintah dan menjadi program nasional, sebagai bentuk dari  upaya pertanggunggjawaban negara, mengingat isu negatif terkait rokok yang berhembus dari luar negeri, jelas mengancam nasib jutaan rakyat Indonesia dan aset negara yang bernilai triliunan rupiah.

Apabila riset yang komprehensif terkait rokok ini belum dilakukan, sangat naif jika pemerintah kemudian berani membuat kebijakan (regulasi) terkait rokok dan produk tembakau, seperti menetapkan definisi tembakau sebagai zat adiktif sebagaimana tercantum dalam “UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan”.