Tapi, meski berstatus sebagai negara penghasil kopi, Indonesia tak punya kekuatan untuk mengendalikan harga kopi di pasar dunia. Harga kopi justru dikendalikan oleh negara-negara yang bukan penghasil kopi.
Kopi robusta dikendalikan harganya oleh bursa berjangka di London, Inggris. Sedangkan kopi arabica dikendalikan bursa New York di Amerika Serikat. Dilansir dari detik.com, Minggu (05/06).
"Mereka nggak punya barang tapi menentukan harga. Yang saya mau bursanya di Jakarta, kita bisa ikut menentukan. Kalau timah bisa dilakukan, kenapa kopi nggak?" kata Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Pranoto Soenarto.
Negara-negara yang bukan penghasil kopi tersebut justru memegang kendali, bahkan di saat terjadi kekurangan pasokan kopi di pasar dunia, harga kopi bisa mereka tekan.
Anomali tersebut terjadi karena lemahnya posisi tawar negara-negara eksportir kopi, termasuk Indonesia.
"Kita ini kekurangan suplai kopi di pasar dunia, harusnya harga tinggi. Itulah 'hebatnya' mereka," tutur Pranoto.
Karena itu, AEKI sangat ingin agar ada bursa berjangka untuk kopi di Indonesia. Eksportir kopi harus diwajibkan menjual barangnya melalui bursa berjangka di dalam negeri. Dengan begitu, Indonesia bisa menjadi tuan di rumah sendiri, ikut mengendalikan harga.
Pranoto optimistis pembuatan bursa berjangka untuk kopi di Indonesia dan payung hukumnya bisa terwujud dalam waktu dekat. Pihaknya menargetkan rencana ini bisa terealisasi dalam waktu 3 bulan.
"Itu harus terealisasi ini kesempatan, target saya jadi 3 bulan. Harga kopi sekarang di bursa London US$ 1.600/metrik ton, kalau di bursa New York US$ 1,21/kg. Kalau di Jakarta kita yang menentukan," pungkasnya.